Minggu, 22 Maret 2009

US mining giant still paying Indonesia military

JAKARTA, Monday March 23, 10:19 AM (AFP) - US-based mining giant Freeport McMoRan is paying Indonesian troops to protect a large gold and copper mine in Papua, despite regulations requiring the military to hand over to police. The Arizona-based company said its local subsidiary paid "less than" 1.6 million dollars through wire transfers and cheques in 2008 to provide a "monthly allowance" to police and soldiers at and around the Grasberg mine.

The disclosure, made in response to questions from AFP, means the company continues to pay soldiers in contravention of a series of legal measures aimed at stopping military units working as paid protection, rights activists said. Grasberg sits on the world's largest gold and copper reserves, in a resource-rich but desperately poor region on the far eastern extreme of the Indonesian archipelago.

Pro-independence Papuan militants have waged a long-running insurgency against Indonesian rule in the province, and human rights monitors say Freeport's payments help fund military abuses against the local population. The latest attempt to cut the military out of protection payments -- part of broader democratic reforms -- came in a 2007 ministerial decree setting a six-month deadline for police to take over security of "vital national objects." The less-than-1.6-million in direct payments are part of eight million dollars Freeport paid in broader "support costs" for 1,850 police and soldiers protecting Grasberg last year, according to a company report filed with the US Securities and Exchange Commission last month.

While most of the direct payments go to the police-led Amole task force at the mine, soldiers and police in surrounding areas are also receiving payments, Freeport spokesman Bill Collier said. "Although the bulk of our support is directed to supporting the Amole task force, we do provide some financial assistance to the police and military who are assigned to the general area surrounding our operations," Collier said. A 2005 report by rights group Global Witness alleged Freeport had paid hundreds of thousands of dollars directly to senior police and military officers between 2001 and 2003. The accusations are just one of many public relations headaches for Freeport, the largest single taxpayer to the Indonesian government. Claims of rights abuses and environmental damage at the mine are difficult to verify as Indonesia restricts travel by foreign journalists to Papua and Freeport seldom allows media into its area of operations. Freeport's Collier did not say if the 2008 transfers included large-scale payments -- in cash or in kind -- to senior officers. But he said the company's actions were within the law. However, Rafendi Djamin, coordinator of rights organisation the Human Rights Working Group, said the military payments were clearly illegal although payments to police, while ethically questionable, were permitted. "The safest thing to say for sure is they (payments to the military) are against the law.

They are against government regulations, ministerial as well as presidential decrees," Djamin said. Indonesian Energy and Mineral Resources Minister Purnomo Yusgiantoro declined a request to be interviewed on the legality of the payments. Global Witness campaigner Diarmid O'Sullivan said Freeport's disclosure of payments left unanswered questions over whether the company is paying large sums to senior officers. "Even now, the company still doesn't publish enough detail about its security payments to clearly confirm that this practice has stopped," O'Sullivan said. Also unanswered is just how many soldiers are being paid. Nyoman Suastra, the commander of the Amole task force officially assigned to guard the mine, told AFP there are 447 personnel in the task force, which includes some soldiers. Subtracting that number from the 1,850 police and military personnel Freeport acknowledges it paid last year, it means the company is paying 1,400 security personnel outside the mine, an unspecified number of them soldiers. "It is disturbing that Freeport still seems reluctant to answer the most important questions, which are: who in the security forces ends up with these allowances, how much money do they get and what is the legal basis for these payments?" O'Sullivan said.

Jumat, 20 Maret 2009

Diplomasi Pantun Bikin Dedengkot OPM Pulang Kampung

Pulang Kampung bukan hal baru bagi seorang perantau. Namun, kasus di Papua justeru punya makna politis. Rindu kampung halaman, sanak saudara dan kerabat adalah filosofi hidup manusia yang biasa di lakukan disaat waktu senja dan akhir menjelang hari libur.

Menarik ketika para Tokoh Papua sekaligus di klaim sebagai pentolan OPM menurut Sumber Detik Com...( diplomasi pantun bikin dedengkot OPM Pulang Kampung ). Salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicolas Jouwe hari ini pulang kampung ke Indonesia. Nicolas bersedia pulang kampung, salah satunya karena diplomasi pantun.Adalah Dubes RI untuk Belanda Junus Effendy Habibie yang berperan dalam diplomasi pantun itu. Junus berkisah, dedengkot OPM itu sudah tinggal selama 40 tahun di Belanda dan tidak mau ke Indonesia sama sekali.

"Dan tidak mau ketemu dengan pejabat Indonesia. Baru saya dia mau. Sampai dia kasih pantun ke saya. Kita berdiplomasi, berdialog dengan pantun. Dia bilang 'Saya orang Papua berjuang sampai sekarang untuk kemerdekaan Papua'. Saya bilang 'Saya nasionalis NKRI. Saya mau Papua bukan jadi tetangga saya, tapi keluarga saya'," ujar Fanny, panggilan akrab JE Habibie.

Fanny menyampaikan hal itu usai bertemu dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (19/3/2009).

Adik dari mantan Presiden BJ Habibie ini pun menambahkan bahwa ada 4 pantun yang dilontarkan Nicolas kepadanya, saat bertemu pada 23 Februari 2009 lalu.

"Angin timur gelombang barat, kapal angkasa warna merpati. Bapak di timur beta di barat, apakah rasanya di dalam hati," ucap Fanny menirukan Nicolas.

"Terus saya bilang begini, 'Laju-laju perahu laju, laju-laju ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, orang tua jangan lupa pada saya," celoteh Fanny.

Nicolas pun membalas pantun,"Naik-naik ke batu gajah, rasa haus makan kwini. Beta rasa sengaja saja, siapa tahu jadi kok begini."

"Potong di kuku rasa di daging. Ale rasa beta rasa. Ketemu tua bersaudara satu sama lain," imbuh Nicolas seperti ditirukan Fanny.

"Saya pun membalas, 'Riang-riang ke Bangka hulu, ramah-ramah si batang padi. Diam-diam sabar dahulu, lama-lama toh akan jadi'," ujar dia.

"Terakhir dia kasih begini, 'Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kelapa. Budi Bapak Dubes sudah sampai, beta mau balas dengan apa," jelas Fanny.

Bagaimana respon JK atas pertemuan Bapak dengan Nicolas yang berhasil membuatnya pulang ke Indonesia?

"Bagus, bagus, bagus, bagus. Apa yang bagus untuk bangsa kita, dia kemukakan," tandas dia.***

Kamis, 12 Maret 2009

ONPB "Deklarasikan" Pemerintahan Transisi

JAYAPURA-Sekelompok orang yang mengaku dari Pemerintahan Transisi Otoritas Nasional Papua Barat (ONPB), Kamis (12/3) kemarin, menggelar sebuah pertemuan di sebuah gedung belakang Kampus Uncen lama.


Menariknya, pertemuan itu mereka namai pendeklarasian terbentuknya sebuah pemerintahan transisi, berikut perangkat kesiapan menjadi sebuah negara. Awalnya rencana pendeklarasian ini akan dilakukan secara terbuka di depan gapura Uncen lama, namun karena tidak mendapatkan izin akhirnya lokasi deklarasi dialihkan ke sebuah gedung dibelakang kampus Uncen lama.


Prosesi pendeklarasian ini juga ditunjukkan beberapa spanduk dan tulisan 'Bangsa Papua Barat sudah punya pemerintahan transisi' yang disampingnya ditempel gambar bintang kejora. Tulisan lainnya yakni Executive President (Edison Waromi, SH) of the West Papua National Authority (WNPA) the Provisional Goverment in West Papua, juga tergambar bintang kejora disisi kiri, bebaskan tapol napol dari penjara NKRI, RI segera buka diri dan merdeka harga mati. Pendeklarasian awalnya dibacakan oleh Drs Frans Kapisa yang mengaku selaku Menkopolkam sekaligus Menteri Pertahanan di pemerintahan transisi ONPB. Ia menyampaikan bahwa selama ini bangsa Papua Barat masih berada dalam penjajahan. Belanda menjajah lalu akhirnya keluar, namun kembali memasukkan ke kandang UNTEA dan setelah keluar dari UNTEA dimasukkan lagi ke Indonesia.


Hingga menurutnya terjadi berbagai konspirasi dan akhirnya Papua Barat benar-benar masuk dalam NKRI. Meski berbagai persoalan dan tantangan yang dialami membuat rakyat Papua Barat terus berjuang, namun tetap dengan cara yang bermartabat dan membawa persoalan Papua untuk diselesaikan melalui mekanisme internasional dan untuk memenuhi syarat yang diminta, maka pemerintah Papua Barat lahir menjadi lembaga politik untuk mengantarkan Papua Barat ke komisi dekolonisasi PBB.


"Kami sudah menyiapkan segala persyaratan untuk mendaftar di dekolonosasi PBB dan jika tidak ada halangan, maka bulan ini tim kerja sedang mempersiapkan dan berangkat ke Amerika untuk mendaftarkan masalah Papua ke PBB. Kami harap dari pendaftaran masalah Papua ini, Indonesia berjiwa besar untuk menerima kami," harapnya. Dari pemaparan lebih jauh, Frans Kapisa mengatakan selama keinginan yang diinginkan masyarakat Papua Barat tidak terpenuhi, maka Indonesia jangan pernah berfikir bahwa suara tersebut akan hilang, tetapi generasi selanjutnya akan terus menyuarakan hal serupa hingga menemukan apa yang dicita-citakan.


Namun menurutnya ada batas waktu yang bisa diberikan sebagai bentuk toleransi. "Sebagai bangsa yang bermartabat, kami selalu mengajak pemerintah Indonesia dengan cara damai hingga waktu yang ditentukan. Mengapa Indonesia takut untuk dilakukan referendum, itu karena mereka paham bukan sebagian kecil yang ingin memisahkan diri," papar Frans yang menegaskan jangan ada pikiran bahwa kebijakan Otsus menjadi obat luka selama ini.


Dikatakan, apabila dari batas waktu yang ditentukan Indonesia tetap mengambil sikap tertutup dan masa bodoh, maka diambil cara paksa. "Kami sudah siapkan diri baik menggunakan tentara nasional kami dan semua dukungan yang ada dan jika berani silahkan Indonesia menangkap Edison Waromi karena dia sebagai penanggung jawab," tegas Frans meyakinkan.


Keyakinan ini juga diperkuat dengan menyampaikan bahwa blangko untuk mendaftarkan Papua ke PBB sudah ada dan tinggal mendaftarkan diri. Dikatakan, cepat atau lambat Papua akan dibahas di PBB karena masalah Papua saat ini menjadi isu nomor 3 di dunia, pertama tentang Irak, Pelastina-Israel dan Papua sendiri. "Dari deklarasi ini pemerintah Indonesia sadar bahwa ada bangsa yang merasa belum didukung oleh mekanisme internasional untuk bersatu dengan pemerintahan Indonesia," ungkap Frans Kapisa. Melihat kebelakang mengenai proses penggabungan Papua saat itu dikatakan kebebasan untuk menyampaikan aspirasi ini ditutup oleh bangsa-bangsa lain, terutama Amerika, Belanda, Indonesia termasuk lembaga PBB yang menyetujui satu keputusan yang keliru sehingga membuat masyarakat Papua Barat masih terjajah.


Lalu tanggal 29 Desember 1961 pemerintah Indonesia yang dibantu Rusia dan Amerika Serikat menyatukan Papua Barat ke Indonesia dan pada posisi tersebut Indonesia mengklaim bahwa penggabungan tersebut menjadi satu rencana mulia untuk mendukung martabat dan persamaan derajat kaum Melanesia.


Di sela-sela acara, Pdt Terrianus Yocku yang mengaku selaku Presiden Nasional Kongres menegaskan bahwa pemerintahan transisi Papua Barat telah siap untuk mengambil alih semua bentuk pemerintahan yang ada untuk mengatur penyelesaian masalah internasional Papua dengan Indonesia. "Apabila Indonesia sudah membuka diri, maka kami siap untuk mengambil alih bentuk pemerintahan transisi," tegas Terry yang menegaskan bahwa Otsus gagal dan tidak berhasil mensejahterakan rakyat Papua. Poin lainnya penilaian masyarakat di tingkat daerah hingga pusat bahwa orang Papua merupakan orang paling bodoh, maka ia menyerukan kepada seluruh masyarakat Papua Barat bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi mampu mendidik orang Papua menjadi cerdas.


Terry secara meyakinkan berjanji akan membuka akses ke dunia internasional untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua Barat mengeyam pendidikan ke luar negeri. "Bahkan peraturan Otonomi Khusus No 12/1969, No 8/1972, No 5/1974 dan No 21/2001 telah gagal dimasyarakat Papua Barat dan tidak satupun bentuk pembangunan yang menyentuh ke masyarakat bawahini sudah diketahui secara umum ," tegasnya.


Sementara ditambahkan koordinator wilayah 2 yang juga mengaku menjabat sebagai Gubernur pemerintahan transisi Papua Barat, Markus Yelu bahwa Indonesia seharusnya mengakui adanya pemerintahan transisi, karena selama ini banyak hal yang sudah merugikan rakyat Papua Barat dan proses pemisahan ini akan melibatkan pihak ketiga yang bukan dari Indonesia. Hari ini atas nama masyarakat Papua Barat dan pemerintah peralihan kami sampaikan deklarasi ke pemerintah Indonesia bahwa hak-hak asasi Papua Barat terutama hak politik harus dikembalikan kepada masyarakat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri ditanah sendiri. (ade)


Sumber : Cenderawasih.pos


NB:

Foto diatas diambil dari dokumentsi Kompas terkait aksi ONPB di Papua

Rabu, 11 Maret 2009

Rokok Haram, Freeport Bagaimana?

Oleh: Khalisah Khalid

JUDUL di atas tiba-tiba menggelitik saya, ketika melihat siaran di sebuah stasiun televisi (3 Desember 2008) di mana Menteri Perindustrian menjadi salah satu pembicaranya. Isu yang dibahas seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haram merokok dan dampak ikutannya. Saya tidak hendak ikut-ikutan setuju atau tidak dengan fatwa MUI, tetapi saya mencoba melihat sisi lain yang mungkin luput dari pandangan kita.

Saya tertegun atas pernyataan atau tepatnya hitung-hitungan Menteri Perindustrian tentang kisaran angka yang diperoleh negara dari cukai rokok, yakni Rp 53 triliun. Angka yang cukup besar untuk menambah pundi-pundi negara. Karena itulah fatwa MUI itu kemudian tampaknya menempatkan pemerintah seperti berada di simpang jalan: setuju dengan alasan melindungi warga negara dari kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak; tidak setuju karena nasib sekitar 10 juta orang bergantung pada industri bernama “Tuhan sembilan senti”, seperti diistilahkan Taufik Ismail, baik yang bersentuhan langsung di pabrik maupun orang-orang yang tidak secara langsung bergelut dengan mesin pabrik.


Bukan Rp 53 triliun itu yang membuat saya tertegun, melainkan hitungan berikutnya. Jika angka tersebut dibandingkan dengan royalti yang didapatkan dari perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia, yang lagi-lagi mengutip pernyataan Bapak Menteri itu, angka royaltinya paling tinggi mencapai Rp 20 triliun. Itu pun sudah mendapatkan bonus dengan menyandang sebagai perusahaan pembayar royalti terbaik dari majalah tambang pada tahun 2008. Artinya, segitulah pundi-pundi kas negara yang masuk dari perusahaan emas yang sudah tiga dasawarsa menguras isi perut Papua, meskipun tidak pernah dihitung ongkos lain yang ditimbulkan akibat praktik industri pertambangan baik berupa kerusakan lingkungan maupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang semuanya difasilitasi dengan baik oleh negara.

Dalam logika saya yang paling sederhana muncul pikiran, jika begitu angkanya, seharusnya pengurus negara ini berpikir ulang untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai sumber pendapatan ekonomi bangsa. Pun sudah ditempatkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi, toh keuntungannya jauh lebih besar dari industri rokok yang sekarang difatwakan haram. Namun lagi-lagi saya juga tidak hendak hitung-menghitung angka keuntungan baik yang bersumber dari cukai rokok maupun dari royalti PT Freeport Indonesia.

Yang menarik bagi saya untuk dipertanyakan lebih jauh adalah ketika pengharaman rokok dihubungkan dengan sebuah nilai kemaslahatan dan kemudaratan. Ditafsirkan bahwa merokok lebih banyak mudaratnya, khususnya bagi warga negara tertentu, dibandingkan dengan maslahatnya, sehingga demi kesehatan masyarakat maka MUI mengeluarkan fatwa haram tersebut. Nah, saya juga ingin menariknya pada satu kondisi dari nilai yang sama yang dijadikan sebagai alat tafsir, yakni maslahat dan mudarat dalam industri ekstraktif seperti tambang emas yang antara lain dikerjakan oleh PT Freeport. Jika dinilai, sungguh kemudaratannya jauh lebih besar ketimbang kemaslahatannya bagi umat manusia. Kemaslahatan (itu pun jika ada) yang paling mungkin dirasakan oleh segelintir elite baik pusat maupun lokal, tapi kemudaratannya paling tidak dicatat oleh organisasi yang concern bekerja untuk isu lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang, di mana PT Freeport Indonesia yang konon memberikan kontribusi pendapatan negara, sesungguhnya lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan lingkungan. Angka tertinggi Rp 20 triliun royaltinya harus dibayar dengan harga yang juga sangat tinggi oleh rakyat akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup yang tidak terpulihkan.

Jika Taufik Ismail yang menyebut Indonesia sebagai surga luar biasa ramah bagi para perokok, negeri ini juga menjadi surga bagi industri tambang. Datang, gali, dan pergi, semuanya difasilitasi negara. Jasa keamanannya, undang-undangnya, bahkan berkali-kali dengan iklan-iklannya. Apa itu bukan surga?

Saya menilai fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjadi satire didengar. Sebab, sebelum-sebelumnya lembaga ini hampir absen mengeluarkan fatwa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jika merokok haram bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak demi kemaslahatan, mengapa MUI tidak sekalian saja mengeluarkan fatwa haram terhadap perusahaan industri tambang seperti PT Freeport, untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap limbah industri tambang? Sumber: Jatam


Khalisah Khalid adalah Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012; Juga sebagai Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia.

Minggu, 08 Maret 2009

" ZONA " DAMAI VS DARURAT DI TANAH PAPUA

Tahun 2009 sekarang menarik ketika gerakan rakyat Papua Barat menuntut penyelesaian masalah Papua dimana disaat ini juga, seanteru rakyat di Indonesia diambang pilihan untuk ikut dalam memilih wakil rakyat dan nantinya juga memilih presiden dan wakil presiden untuk berbakti kepada rakyat, menjaga negara dan rakyat dari keterpurukan. Amanat rakyat kepada para pemimpin dalam perhelatan pemilihan umum sudah menjadi tradisi politik untuk sebuah negara demokrasi. Pemilu selalu di hebohkan dengan gerakan rakyat yang begitu beragam, sesuai dengan afiliasi keinginan masing-masing kelompok dan bangsa. Dinamika inilah, Desk Papua menulis sebuah pikiran sederhana mencoba mengangkat ada apa dibalik keinginan orang Papua untuk mengusung Papua sebagai daerah damai dan zona darurat.

Delapan puluh tujuh tokoh Agama seluruh Tanah Papua menyatakan sikap pada 15 september 2005, dalam rangka perayaan hari damai sedunia. Dalam tulisan dokumentasi yang di bukukan oleh Keuskupan Jayapura" membangun budaya damai dan rekonsiliasi " termaktup didalamnya keinginan para tokoh Papua untuk mendukung penyelesaian masalah di Papua dengan semangat damai. Latar belakang keinginan bersama ini lahir akibat dari keputusan pemerintahan Indonesia di era Megawati yang mengeluarkan kepres No. 1/2003 tentang percepatan pemekaran wilayah baru di Tanah Papua. Seruan untuk menuntut diadakannya budaya damai di Papua kemudian jadi semboyan " PAPUA ZONA DAMAI ".

Gaung zona damai bagi Papua berhasil mengilusi suprastruktur negara terutama perangkat pemerintahan di Papua juga tak luput mengayom semboyan Papua Tanah Damai. Dan sejak tahun dikeluarkannya sikap para tokoh Papua kepada pemerintah, dukungan pun datang dari berbagai kalangan pemerhati Papua dan juga rakyat Papua. Tanah Damai, damai dalam segala hal kebijakan dan tindakan, damai dalam mewujudkan rakyat Papua yang sejahtera dan berdaulat. Keharusan menuju damai dengan meniadakan cara-cara penyelesaian masalah dengan kekerasan dan kebijakan atas Tanah Papua dilakukan dengan dialog damai juga.

Toh, pemekaran wilayah tetap diberlakukan di Papua. Sudah ada kurang dari 10 wilayah pemekaran baru terbentuk dan provinsi Papua Barat sekarang berjalan walaupun seruan Papua damai lahir atas penolakan pemekaran propinsi ini. Reaksi keras orang Papua dalam ruang damai pun bergelora. Adalah pengembalian Otsus dalam bentuk peti mati oleh Dewan Adat Papua bahkan gerakan mahasiswa dan pemuda di dukung elemen rakyat pro rakyat lainnya untuk menuntut di tegakkan damai dan dialog untuk rakyat Papua. Mulai dari Isu referendum, tarik militer, tuntaskan pelanggaran HAM dan Ekologi, hingga mengusung payung Dialog Nasional dan Internasional sudah di lakukan oleh Bangsa Papua walaupun belum ada tindakan serius dari negara Indonesia menyambut tuntutan rakyat di Tanah Papua yang berjuang dengan semboyan Tanah Damai.

Indonesia sering di banggakan sebagai negara demokrasi, negara yang terus mengutamakan musywarah dan mufakat untuk suatu kebijakan. Dan budaya musyawarah di lampiaskan melalui mekanisme negara pula. Dewan Perwakilan Rakyat, Lembaga-lembaga independen dan kolektif tokoh masyarakat dan agamawan. Kegigihan para Tokoh Papua ini berhasil di pecahkan oleh entah siapa yang berkepentingan di Papua. Para tokoh baru bermunculan, blok pimpinan suku menjadi kronis. Semua serba bertanya-tanya, dia mewakili rakyat siapa dan bekerja untuk Papua Damai yang mana. Munculnya Ondoafi Ohe di Jayapura menuai friksi baru, apalagi terus di curigai ketika membentuk DAP Indonesia. Persatuan para tokoh yang terus memimpikan sebuah kebersamaan demi persatuan dalam ruang damai berlalu dengan dinamika keterpecahan. Dimanakah keampuhan semboyan Papua Zona Damai?.

Beralih kemudian fisi Papua tanah Damai menjadi wilayah Darurat yang diangkat dalam statemen perayaan Hut Papua 1 Desember 2008 di Makam Alm. Theys H Eluay sentani Jayapura. Sikap politik yang di kumandangkan oleh para tokoh yang didalamnya tertulis nama Pimpinan Besar Bangsa Papua Barat " Thom Beanal " ini menuai kebisingan baru bagi negara. Ya, pasca pembacaan statemen ini, aktivis Papua di incar. Buhtar Tabuni dan Sebi Sabom kini mendekam di tanahan. Untuk mendukung sikap pasca 1 Desember 2008 lalu, sejumlah gerakan rakyat mengembuskan suara Papua Tanah Darurat. Entah usia Papua Zona darurat masih baru, tetapi gerakan tersebut menghawatir negara Indonesia, apalagi menjelang proses pemilihan Umum juli 2009 akan datang.

Akankah tuntutun Papua dengan gerakan afiliasi politik begitu maksimal dalam pemenuhan hak-hak hidup Bangsa Papua Barat?. Jawabannya kembali pada kemauan politik dan sejauhmana peletakan tuntutan hari ini dengan kemauan politik para penguasa. Yang terjadi selama dideklarasikannya zona damai dan zona darurat adalah korban terus berjatuhan di Bumi suci Tanah Papua. Korban dari praktek ketidak adilan hukum, korban dari praktek kebingisan para tentara di Papua, sampai pada korban daripada hegemoni sistem yang menindas. Demokrasi sebuah solusi, tetapi demokrasi terus bermakna dalam praktek keadilan dan kemakmuran rakyat.

BERUDING UNTUK TANAH PAPUA

Dalam sebuh diskusi peluncuran buku berjudul " Papua; its problem and possibilities for a peaceful solution. Oleh SKP Jayapura, tim Desk Papua Barat memberi sebuah pertanyaan sederhana tentang sejauhmana prinsip kemakmuran rakyat Papua menjadi agenda Papua Tanah Damai yang di usung selama ini. Namun, tak satupun ide ini menyentuh dalam platform zona damai. Dan disitulah terkuak jika misi damai tidak ada yang lebih mendasar bagi perubahan di Tanah Papua, dan sekarang nasib yang sama, tatkala tidak jauh beda dengan ide Papua Zona Darurat.

Papua begitu rumit dari penyelesaian masalah. Demokrasi di Papua sangat diragukan keberpihakannya. Tetapi negara begitu banyak memiliki cadangan ekonomi di Papua. Kekayaan, keragaman budaya, dan letak Papua begitu strategis dari katulistiwa menakjubkan bagi Indonesia untuk membendung Papua dari ranah sabotase negara lain. Tetapi juga Papua jadi ajang eksplitasi dalam berbagai hal. Secara politik; hak politik Papua dieksploitasi demi kepentingan global. Secara ekonomi, sudah ada 300 perusahaan asing dan nasional injak kaki di Papua. Di tahun 2009 saja selain ( temuan Majalah Frobes ) sudah ada enam negara membuat konsensi untuk blok Karang dan minyak hingga kelapa sawit di Papua dengan dukungan modal dari kantong-kantong IMF, BANK DUNIA dan dana pemberdayaan dari USAID milik AS.

Dan menjelang pemilihan umum 2009, belum nampak instrumen negara untuk menjamin keharusan sejahtera dan makmur bagi orang Papua. Kerangka hukum negara terus melegitimasi kapitalisasi ekonomi orang Papua, suprastruktur negara masih mengutamakan orang Asing ketimbang orang Papua. Kenyataan pahit adalah, data statistik Papua menunjukan penduduk Asli termarginalkan di negeri mereka. Ruang pasar dan peningkatan ekonomi justeru diambil kaum imigran di Papua. Dan otsus gagal sudah dengan sendirinya di tengah kondisi Papua saat ini.

Untuk itu, harapan kesejahteraan bagi orang Papua belum menunjukan peningkatannya walaupun sudah ada dorongan dan niat baik untuk membangun Papua yang berkeadilan, bermartabat dan menjunjung demokrasi berpihak pada rakyat di Papua. Pemilu sudah dekat, penyelesaian Papua begitu jauh, marilah berunding dari kegagalan dan kemajuan Tanah Air Papua Barat, dan berunding untuk satu masalah dan gapailah perubahan dalam dinamika Papua hari ini.

Senin, 02 Maret 2009

Papua Resmi Gratiskan Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan


Redaksi Desk:
Ketetapan daerah Provinsi oleh Gubernur Papua saat ini membuka tabir dunia bahwa sepantas pantas nya Tanah yang kaya raya punya hak untuk menikamati sumber daya alam di wilayah mereka. Artinya, pendidikan gratis dan kesehatan gratis sudah harus berlaku bagi orang Papua. Walaupun kebijakan ini masih sangat baru dan rentan dalam implementasinya, tetapi dasar utama sudah ada. Keputusan Gubernur no 5 dab 6 adalah pokok utama dalam bertindak bagi pemenuhan hak rakyat.

Papua adalah provinsi ke-dua yang menggratiskan biaya pendidikan, setelah Bupati Kabupaten Sulawesi Tenggara menyatakan hal yang sama. Barnabas Suebu, tercatat sebagai orang Papua yang senang menjalankan pola kebijakan mirip Kapitalis Eropa ini terus menyuarakan gebrakan di Papua. Politik Pembangunan kampung walaupun belum maksimal, tetapi akibat kebijakan belia inilah, segudang aparat KOPASSUS memblokade gedung Dok II Jayapura dengan alasan tidak jelas.

Begitu juga, dalam kebijakan Gubernur selama di Papua inilah membuat PArtai Buruh Pak Mohtar Pakpahan mencatatkan nama Gubernur Papua ini sebaga menteri pertahanan dalam struktur kabinet Partai Buruh di tahun 2009 ini. Akankah malapetaka kemiskinan, kesenjangan sosial orang Papua dengan kekuatan globalisasi sekarang dapat berubah kearah yang lebih baik?. Semoga...

Papua Resmi Gratiskan Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan

Berlaku Mulai Hari ini-Cepos

JAYAPURA-02 Maret 2009 05:25:18. Pembebasan biaya pendidikan tingkat dasar (SD dan SMP) dan pengurangan biaya pendidikan bagi orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah, serta pembebasan biaya pelayanan kesehatan di Provinsi Papua, mulai hari ini, Senin (2/3) resmi diberlakukan.

Hal ini setelah, Gubernur Papua, Barnabas Suebu,SH telah menetapkan dua Peraturan Gubernur Provinsi Papua, yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Papua No.5 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua, pada jenjang pendidikan menengah, dan Peraturan Gubernur Provinsi Papua No 6 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pelayanan kesehatan.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu,SH saat memberika keterangan pers di Gedung Negara, Sabtu malam (28/2) mengatakan, salah satu agenda yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh yaitu kegiatan pembangunan yang focus kepada rakyat, focus kepada human development.

Mulai dari ibu hamil, bayi, anak-anak yang harus sekolah baik, pendidikan dasar dan menengah yang harus baik, pelayanan kesehatan harus baik, rumah tinggal juga harus baik, air untuk minum juga harus baik, ekonomi harus tumbuh mulai dari kampung. "Misi ini adalah misi yang besar, tidak gampang, yang kita sebut sebagai Rencana Stretegis Pembangunan Kampung (Respek) yang kita tambahkan lagi menjadi Gerakan Masyarakat untuk Pembangunan Kampung (GMPK). Kekuatan manusia dan budayanya, kekuatan alam di sekitarnya, kita bangun dari bawah, sehingga pada saatnya kekuatan ini akan membuat masyarakat mampu dan mandiri untuk membangun dirinya," ujar gubernur.

Berkaitan dengan itu, pihaknya mendatangani dua peraturan gubernur, yaitu tentang pempembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah, dan tentang pembebasan biaya pelayanan kesehatan. "Semua penduduk Papua dibebaskan dari biaya pelayanan kesehatan pada tingkat Puskesmas, Pembantu Puskesmas (Pustu) dan pada tingkat rumah sakit provinsi ada tiga yaitu RSUD Jayapura (dok II), RSUD Abepura dan Rumah Sakit Jiwa Abepura. Khusus penduduk asli Papua yang tidak mampu dibebaskan dari biaya," tandasnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 Peraturan Gubernur Provinsi Papua No 6 Tahun 2009, jenis pelayanan kesehatan yang dibebaskan bagi orang asli Papua yang tidak mampu melalui fasilitas kesehatan rumah sakit meliputi: pertama, rawat inap klas III dengan kebutuhan medik yang menyertainya mencakup tindakan medik, tindakan operatif, pelayanan obat, penunjang diagnostik dan pelayanan medik lainnya, termasuk pelayanan darah. Kemudian rawat inap intensif, pelayanan cuci darah, pelayanan gawat darurat dan pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan beserta kebutuhan medik yang menyertainya.
"Kebijakan ini nanti akan diikuti oleh semua rumah sakit pemerintah yang ada di kabupaten/kota. Konsekuensi biaya akibat kebijakan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua dan sebagiannya dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota oleh karena rumah sakit yang dimiliki pemerintah kabupaten dibebankan dari APBD kabupaten yang bersangkutan dan kita dari provinsi memberikan dukungan terhadap kekurangan mereka," terangnya sambil menegaskan, kebijakan ini mulai dilaksanakan mulai hari ini, Senin (2/3).

Berikutnya, tentang pembebasan biaya pendidikan, gubernur menyatakan, semua warga negara Indonesia penduduk Papua (tidak hanya orang asli Papua), dibebaskan dari biaya pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam rangka wajib belajar sembilan tahun. "Mereka harus dibebaskan dari semua jenis pungutan oleh sekolah, kecuali apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak, itu mutlak dengan persetujuan komite sekolah. Apabila ada rapat komite sekolah, maka beban yang diberikan kepada orang tua murid, tidak boleh sama. Harus diklasifikasi sesuai dengan tingkat pendapatan orang tua murid," tuturnya.

Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah, baik SMA maupun SMK, pembebasan ini hanya berlaku bagi penduduk asli Papua yang tidak mampu. Mereka dibebaskan dari semua jenis pungutan. "Termasuk apabila komite sekolah itu memutuskan menyetujui ada biaya yang dibebankan kepada orang tua murid, maka yang tidak mampu ini tetap dibebaskan," tegas Suebu.

Sekedar diketahui, sebagaimana diatur dalam pasal 6 Peraturan Gubernur No 5 Tahun 2009, peserta didik orang asli Papua yang menerima pembebasan biaya pendidikan itu adalah peserta didik dari keluarga petani, nelayan tradisional, buruh kasar, dan keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Kemudian dari keluarga pegawai negeri golongan I dan II, TNI/Polri dan swasta yang setara dengan pegawai negeri golongan I dan II.

Dikatakan, dalam pelayanan pendidikan maupun kesehatan, harus ada standar pelayanan minimumnya. "Ini bertujuan supaya tangan pelayanan dari pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan ini benar-benar menjangkau rakyat dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya, sehingga Papua di masa depan, rakyatnya semakin terdidik, cerdas dan sehat," pungkasnya. (fud)

Minggu, 01 Maret 2009

NEGERI ITU BAGI SOSIALISME

Oleh: Arkilaus Arnesius Baho

“Di persembahkan bagi usia Partai Rakyat Aceh “ PRA “ yang ke-II ”.


Bumi Serambi Mekkah, Tanah Rencong itulah Aceh. Dunia mengetahui nama Aceh, tak luput juga didalam genggaman imperium global hari ini Aceh pun di tilik dalam suatu mesin Kapitalisme Baru. Belajar dari tradisi kolonialis atas bumi Aceh, tak hanya perubahan kearah yang baik diperjuangkan, tetapi menapaki keberpihakan dunia akan rasionalitas kerakyatanlah jiwa semangat kita. Kadang begitu pahit, letih dan melelahkan dengan menuju kemakmuran yang hakiki. Negara hanyalah bayangan semu, alat taktis bagi tujuan sejatinya. Itulah ideology dasar, sumber utama penerimaan rakyat Aceh dengan begitu kokohnya saat ini Partai Rakyat Aceh menjadi jantung perubahan bagi Rakyat kecil, orang Miskin, perempuan tertindas di Tanah Aceh dan Dunia. Dalam usia muda ini, Aceh dalam keterlibatan Partai Rakyat Aceh sudah banyak kah sumbangsih perubahan?


Entah dinamika perubahan begitu klasik bagi dunia dalam menentukan tingkatan perubahan sebuah wilayah. Tetapi atraksi politik bagi rakyat Aceh ditahun ini akan Nampak roh perubahan itu berlaku dalam kandungan politik, ekonomi dan Budaya orang Aceh. Ya, Gencatan senjata, perundingan RI-GAM hingga bertumbuh secara baru Partai Politik local. Ada yang merasa dirugikan, merasa tak punya identitas politik dan kebakaran kekuasaan mereka setelah rakyat Aceh mampu berdiri dalam kaki-Nya, menatapi pentingnya keberpihakan bagi rakyat semesta dari cercaan dan rampasan hak ekonomi dan politik jajahan kaum colonial.


Diawal perhelatan nasional Partai Rakyat Aceh, Papua beri dukungan. Pidato Politik Papua itu di tutup dengan teriakan HIDUP RAKYAT ACEH, HIUDP PRA, HIDUP RAKYAT PAPUA BARAT. Dengan bangga dan terus berdiri dalam simpatisan Partai Rakyat Aceh, begitu gembira menyambut hari ini ( 03 Maret 2009 ) sebagai hari lahirnya sebuah Partai Lokal pertama di Aceh setelah bumi yang dahulu di genggam dalam periodesasi kekerasan kemanusiaan, aceh menandai kekuatan rakyat dalam hajatan kongres. Ide perubahan dengan mendirikan sebuah Partai di tengah ruang keberpihakan dunia atas penyelesaian Masalah di Aceh merupakan roh baru yang di lakukan oleh kawan-kawan pejuang di sana “Aceh”.


Kongres pertama PRA lahir. Akomodasi politik kebangsaan mewarnai jiwa dan roh pergerakan Partai. Euforia kepartaian kemudian ada dan kini membumi di Aceh. Kemunculan partai local di Aceh begitu banyak, tetapi sejarah pasti meyakinkan Partai Rakyat Aceh adalah kepeloporan pertama. Dan kader-kader PRA menuju tantangan baru, yaitu fenomena pemilu yang di selenggarakan Indonesia. Ratusan anggota PRA menuju parlemen, teori perubahan bagi rakyat dalam parlamentariat bukanlah cita-cita pokok. Tetapi kekuatan bersama adalah modal pokok yang sejati. Tidaklah larut dalam kebisingan kursi kekuasaan, tidaklah menerapkan watak borjuis dalam kursi rakyat nantinya, tetapi PRA adalah kemauan bersama demi kemerdekaan, kedaulatan dan kemajuan bagi pemenuhan sosialisme.


Tatkala pesan pidato politik Papua di depan ribuan peserta Kongres disambut dengan tepuk tangan, air mata dan kegembiraan. Itulah awal, itulah jiwa dan nurani yang terus di persembahkan bagi kemenangan bersama. Kemajuan rakyat Aceh menuju damai, Aceh sudah damai, Papua belum…pidato Politik Papua mengakhiri rangkaian pidato dalam kongres pertama PRA. Kini tibalah di hari ulang tahun yang ke dua ini, dukungan senasib dari Papua tetap kokoh bagi kejayaan PRA. Hidup PRA, jayalah sosialisme. Warnai hidup baru, membumikan jati diri kerakyatan. Kita selalu dalam garis yang sama.

HENTIKAN PEMEKARAN

Oleh Teuku Kemal Fasya
Harian Aceh, 1 Maret 2009. Kasus terbunuhnya ketua DPRD Sumatera Utara dalam demonstrasi brutal yang mengusung ide pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) adalah luka demokrasi yang tak boleh terulang lagi. Cukup dan terakhir!

Brutalisme politik massa sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Berkali-kali, dengan dalih ekspresi arus bawah, media demonstrasi digunakan untuk merusak, mengeroyok, dan membakar. Kasus Pilkada adalah yang terbanyak memberi contoh politik kekerasan. Tentu saja sikap masyarakat yang tak berseni politik ini adalah cermin para elitenya yang serakah dan sakit. Qualis rex, tali grex. Bagaimana raja seperti itulah rakyat.

Kesalahan karena regulasi Gagasan pembentukan Protap sebenarnya wacana lama yang telah basi. Pemerintah telah melihat pembentukan provinsi ini belum memenuhi standar prosedur tetap (protap) dalam UU No. 32/2004 jo PP No. 78/2007, namun sayang terlalu ragu bersikap karena takut dituduh otoriter. Gubernur Sumatera Utara yang baru terpilih juga tidak berani memainkan politik teladan, karena tidak berasal dari wilayah yang pro-pemekaran.

Padahal politik pemekaran berdasarkan PP sebelumnya (PP No. 129/2000) telah menyebabkan Indonesia negara satu-satunya di dunia yang melakukan pemekaran wilayah tercepat di dunia. Hanya dalam waktu tujuh tahun kita telah berkembang menjadi 33 provinsi dan hampir 500 kabupaten/kota. PP 78/2007 terlambat mengantisipasinya. PP 78/2007 memang memberikan persyaratan lebih kompleks bagi daerah yang ingin mekar melalui batasan minimal kabupaten atau kecamatan untuk pembentukan provinsi atau kabupaten/kota. Juga terdapat persyaratan aspirasi berdasarkan keputusan forum pertimbangan desa (FMD) dan forum komunikasi kelurahan (FKK), di samping rekomendasi dari provinsi induk dan disetujui dalam rapat paripurna DPRD.

Namun, meskipun PP 78/2007 lebih steril menerjemahkan hasrat politik pemekaran, tapi tak cukup kebal menolak virus politik menghalalkan segala cara. Suara rakyat ternyata bukan suara Tuhan, karena definisi “rakyat” di sini juga mengalami eksploitasi akut. Banyak forum rakyat atau organisasi kemasyarakatan pendukung pemekaran ternyata tidak justified sebagai representasi rakyat. Dari beberapa penelitian tentang prosedur pembentukan daerah terlihat persyaratan pembentukan daerah (administratif, teknis (potensi daerah, kemampuan ekonomi, sosial-budaya, dsb), dan syarat teknis hanya memenuhi kepentingan formal dan tidak substansial. Kebanyakan akal-akal dan paksaan.

Ditambah lagi realitas provinsi dan kabupaten/kota yang mekar tidak bisa menyaingi atau lebih baik dibandingkan provinsi dan kabupaten induk. Seruan pemerintah agar tahun 2008 menjadi tahun terakhir pemekaran hanya dianggap nasehat basi. Era sekarang adalah merebut kekuasaan. Ketika gagal pada politik utama, maka permainan dilakukan pada politik pinggiran seperti dengan isu pemekaran.

Akhirnya, meskipun rumit segala permasalahan harus dikembalikan pada hukum. Pemerintah harus tegas menolak setiap usulan pembentukan provinsi atau kabupaten/kota jika ditemukan cacat prosedur sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 78/2007. Di dunia olahraga kita mendengar slogan be fair play, politik seharusnya pun berlaku demikian. Kesempurnaan hanya dihasilkan oleh praktik dan pemerintah harus berani bersikap agar raja-raja kecil tidak semakin melonjak kegirangan. Hal lainnya adalah merealisasikan PP tentang evaluasi kinerja pemerintahan daerah untuk menilai proyek pemekaran berlangsung selama ini telah menuai hasil positif atau tidak. Jika nilai rapor pemekaran jeblok maka daerah mekar harus dikembalikan ke daerah induk atau dihapuskan, tanpa tedeng aling-aling.

Politik Memainkan Mitos

Ide pembentukan Provinsi Tapanuli berangkat dari imajinasi keresidenan Tapanuli yang dibentuk pada masa kolonial Belanda, 1910. Keresidenan ini memiliki empat Afdeling (atau kabupaten/kota) yaitu Padang Sidempuan, Nias, Sibolga, dan Bataklanden. Pembentukan keresidenan Tapanuli adalah wujud untuk menyatukan “sub-sub etnik” di daerah Tapanuli yang disebut Batak ini dalam sebuah batas administratif dan demografis, sekaligus mengisolasi dengan kultur lain yaitu Melayu, Alas, dan Minang.

Namun secara historis Tapanuli bukanlah satu entitas. Sudah lama terjadi “konflik”, antara orang-orang Batak dari utara dan selatan. Konflik ini memuncak pada tahun 1930-an ketika pemerintah berencana membentuk satu komunitas kelompok (groopgemeenschap) untuk semua orang Batak di wilayah keresidenan Tapanuli. Batak utara, diwakili oleh Toba, sedangkan Batak selatan terbagi dua: Angkola, Sipirok, dan Padanglawas mendukung Toba sedangkan Mandailing menolak sama sekali.

Di Medan, orang-orang Mandailing tidak mau disebut sebagai Batak. Mereka mengatakan bukan Batak. Pada tahun 1920-an, orang-orang Mandailing bahkan menolak menguburkan seorang Batak yang berasal dari Sipirok dalam pemakaman karena yang meninggal masih memegang identitas kebatakannya (Limantina Sihaloho, 2004).

Berangkat dari sejarah kolonial ini terlihat pembentukan Provinsi Tapanuli adalah warisan primordialisme Belanda, devide et impera, yang sebenarnya berhasil dilunturkan melalui pembentukan provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumut adalah jawaban yang paling tepat bagi konfigurasi kerukunan etnis dan agama untuk wilayah ini. Bukan hanya bagi etnis tempatan (Batak dan Melayu), tapi juga etnis pendatang (Jawa, Tamil, China, Aceh, dan Minangkabau). Aceh pernah menjadi bagian dari provinsi ini (Sumatera Timur) di masa Orde Lama. Eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdiri pada azas sekularisme dan pluralisme dapat dilihat di Sumatera Utara. Agama dan marga boleh beda, tapi ketika berhubungan dengan orang luar dengan lugas disahut: saya anak Medan, Bung! Medan memang menjadi simbol politik dan budaya bagi seluruh perkauman dan agama Sumatera Utara.

Makanya agak aneh jika mitos Residen Tapanuli masih dibangkitkan dalam ruh Provinsi Tapanuli, apalagi ketika banyak Afdeling (kabupaten/kota) dan Onder Afdeling (wilayah) bentuk Belanda itu tidak bersepakat dengan provinsi ini. Kabar terakhir Tapanuli Tengah dan Dairi pun telah keluar dari kesepakatan. Aziz Angkat yang meninggal bermarga Pakpak yang secara administratif berada di kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat.
Sudah saatnya politik dibersihkan dari mitos negatif. Saatnyalah menyelamatkan Sumatera Utara dari perpecahan dan kebangkrutan. Ini juga selaras dengan semboyan SBY untuk menghentikan politik pemekaran yang merugikan bangsa dan negara dan tidak bersendikan kesejahteraan sosial.

Bagi Aceh inilah saat untuk merefleksikan kembali tentang politik pemekaran yang sebenarnya tidak berangkat dari kepentingan demokrasi kecuali hanya berdiri di papan nama rakyat. Oligarkhi bukan demokrasi dan kepentingan rakyat tak berjalan dalam keriuhan dan caci-maki tapi dalam santun dan tenang. Dengan hati-hati menyuling pendapat rakyat agar tidak menjadi suara sumbang.

Aceh sekali, berarti, sampai mati!

Kemal Fasya Adalah Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Aceh. Sedang kursus bahasa Jerman di German Malaysian Institute.

Sabtu, 28 Februari 2009

Flu Burung Ternyata Rekayasa Senjata Biologi AS & WHO

Saturday, February 28, 2009. Banda Aceh; Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha an dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia .

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta , Kamis (21/2).

Situs berita Australia , The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

“Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya,” ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. “Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya. Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.

“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonoyang memintanya menarik buku dari peredaran. “Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia , sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Mengubah Kebijakan

Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.

Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.
Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. “Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, ” tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.

Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam . Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari Vietnam , negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.

Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima . Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia , yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.

Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil,transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik
dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Kamis, 26 Februari 2009

Mitos Neososialisme

Mario Rustan

Dua pekan lalu halaman Opini ini memuat tiga artikel mengenai neososialisme. Ada tiga sebab mengapa neososialisme, paling tidak menurut interpretasi para penulis itu, cukup populer di Kompas.

Penyebab pertama adalah populernya ideologi kiri populis dalam politik Amerika Latin (kawasan yang menarik bagi kaum kiri Katolik di Indonesia), terutama pemerintahan Venezuela, Brasil, dan Bolivia. Alasan kedua adalah kaitan historis antara sosialisme dan pemikiran Katolik di Indonesia. Alasan ketiga, dan ini cukup mengkhawatirkan, adalah logika ”musuh dari musuhku adalah kawanku”.

Ketidaksukaan sebagian intelektual kiri Indonesia kepada Barat dan kaum menengah ke atas Indonesia berakibat pada kekaguman mereka kepada rezim otoriter di Rusia, China, Iran, dan Amerika Latin. Jelas hanya Venezuela dan Bolivia yang bisa disebut sebagai negara penganut neososialisme.

Keadaan sebenarnya

Namun, istilah itu sendiri salah. Baik Venezuela maupun Bolivia secara resmi menyebut ideologi mereka: Bolivarianisme. Istilah itu mengacu pada pejuang kemerdekaan Amerika Selatan Simon Bolivar, yang praktis berarti ”kontrol kuat negara yang dianggap mewakili kaum pribumi”. Baik Hugo Chavez maupun Evo Morales gemar menebar cerita bahwa masyarakat mereka dikepung kekuatan jahat pimpinan Amerika dan pemodal kulit putih yang tak rela kekuasaannya diambil alih. Di permukaan, kebijakan mereka sangat menguntungkan kaum miskin dan mereka dekat dengan rakyat.

Keadaan sebenarnya di sana—paling tidak di Venezuela— berbeda. Hugo Chavez adalah seorang diktator yang ingin menjadi presiden seumur hidup. Pasukan pendukungnya dan militer gemar mengintimidasi dan menyerang media yang dianggap melawan. Banyak program pembangunan berupa janji belaka. Kemiskinan dan pengangguran merajalela di Venezuela. Chavez hanya bisa menyalahkan Amerika dan menghabiskan anggaran belanja militer.

Istilah neososialisme muncul di Perancis dan Belgia saat Depresi Besar mulai. Pendukung demokrasi sejati tak akan setuju dengan neososialisme ala Marcel Deat, yang mendukung kediktatoran. Marcel Deat dan kawan-kawan diusir dari forum Internasional Kedua Kaum Komunis karena dukungan mereka pada fasisme. Dukungan neososialisme pada fasisisme dibuktikan saat Perancis diduduki selama Perang Dunia II. Hasilnya, setelah 1945 paham ini dianggap jahat, bahkan oleh sosialis Perancis.

Jalan ketiga

Bagaimana dengan neososialisme yang lain, atau Jalan Ketiga, yang sudah diusulkan pastor-pastor di Indonesia sejak 1980-an? Newsweek bulan ini mengumumkan ”Kita semua sekarang adalah sosialis” dalam menanggapi resesi dunia. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi dan perdagangan kembali berjalan di Amerika dan Australia, negara yang beberapa tahun lalu sering disebut sebagai pentolan neoliberalisme. Jalan Ketiga, yang dulu dijalankan oleh Bill Clinton dan Tony Blair, menghendaki kerja sama, bukan pengunduran diri dan permusuhan.

Daripada jauh-jauh menengok ke belahan dunia lain, tengoklah kawasan kita, Asia. Apabila kita selalu bertanya mengapa Vietnam sudah mendekati pencapaian Indonesia, mengapa Thailand dan Malaysia tetap dikenal walau politiknya sedang kacau, dan orang Indonesia senang ke Singapura, jawabannya jelas. Mereka mementingkan Asia lebih dulu, Pasifik berikutnya, kawasan-kawasan lain setelah itu.

Apa pun bentuk pemerintahan dan ideologi mereka, yang penting ekonomi harus selalu berjalan dan informasi tentang tetangga harus selalu aktual. Setelah melihat hasilnya, apakah kita tidak merasa ketinggalan zaman bila masih memikirkan ”neososialisme” gaya Venezuela, apalagi ada pilihan Jalan Ketiga?


Rabu, 25 Februari 2009

Sidang Buthar Tabuni & Sebi Sabom

Sangat menarik dalam pemilihan umum di Tanah Papua Barat akan mencapai shock sosial masyarakat. Perjuangan di Papua begitu banyak tantangan yang signifikan, untuk bebas dari ketidakadilan memerlukan komitmen yang harus sempurna dalam mencapai bersama. Semoga gerakan dari orang-orang di tengah pemilihan umum di Indonesia sekarang tidak harus menimbulkan korban sia-sia. Dan penegakan hukum harus kuat untuk konflik tajam. Berita dalam kategori ini .
Berita Tentang Buthar Tabuni & Sebi Sabom.Sidang Di Jayapura Klik Disini :
Papuapos
Oleh : Rayon Militer Korban

Senin, 23 Februari 2009

Kantor KPU Dibom, 4 Separatis Ditembak

JAYAPURA-Ketua KPU Provinsi Papua, dilaporkan telah diculik saat berada dan melakukan aktivitas di kantor KPU, bahkan oleh kelompok separatis bersenjata tersebut, langsung membawa lari dan menyanderanya di sebuah gedung.

Ketua KPU langsung disekap di sebuah gedung oleh 4 anggota kelompok separatis bersenjata laras panjang tersebut. Tidak hanya hanya itu, beberapa saat setelah melakukan penyanderaan, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat dari Kantor KPU dan 2 bom yang masih aktif ditemukan di TKP.

Mendapatkan informasi intelijen di lapangan bahwa Ketua KPU disandra oleh kelompok massa yang bersenjata dan berada di sebuah gedung, Kaopsda memerintahkan kepada kepala Satgas tindak untuk melaksanakan tugas pembebasan sandera tersebut, dengan mendatangkan 2 unit wanteror Satgas ( Cepos )

Dari Simulasi pengamanan pemilihan Umum 2009 di Papua, seakan mencorang semangat menuju Papua Tanah Damai. Simulasi bergaya militer tersebut mencoreng keinginan rakyat Papua dalam bebas memilih hak politik mereka. Seakan Papua dalam dominasi kejahatan luar biasa jelang Pemilu. Bisa juga keikutsertaannya sejumlah capres yang latar belakangnya seorang Militer/mantan militer mewarnai penanganan pengamanan pemilu didesikasikan dalam junta pengamanan militer hebat. Artinya, dengan adanya kepentintingan CAPRES dari bekas militer bapak WIRANTO dan PRABOWO,SBY…Bertiga orang ini akan taruhan PILPRES 2009,untuk merebut kekuasaan di gedung putih Indonesia. Sangat disayangkan, isu separatisme Papua sudah mulai skenario oleh pihak militer dan saat ini sudah dilakukan kantor KPU provinsi papua, oleh sebab itu pikak militer pasti akan penambahan pasukan setiap wilayah untuk pengamanan pemilu 2009.

Aturan dengan kata demokrasi adalah.”Memilih atau tidak memilih adalah. hak..setiap orang,tetapi kemungkinan besar akan terjadi di papua adalah,dengan kekerasan militer terhadap masyarakat untuk dipaksakan mengikuti pemilihan…Legislatif dan pemilihan Presiden.

Saat ini militer Indonesia tujuan pertama sudah berhasil isu separatisme di kantor KPU provinsi papua,dengan kebenaranya bahwa memang militer sengaja taru bom dan senjata laras panjang sekitar kantor KPU Provinsi papua lalu inteljen Indonesia tingal pantau ,orang papua ada yang lewat langsung di tangkap,lalu ditembak…dan tiba-tiba senjata sudah ada di tangan korban orang papua untuk sebagai bukti..bahwa separatisme mebawa alat senjata baru kami ditangkap dan separatisme melarikan diri maka kami di tembak mati..ini memang kerjanya militer di papua saat ini.

Masalah papua merdeka dengan KPU itu tidak ada kekuatan politik dengan papua merdeka dan 4 orang separatisme berhasil ditangkap dan ditembak mati ini pun tidak benar sebenarnya,senjata laras panjang dan bom itu masyarakat papua tidak punya dan mendapatkan alat-alat perang itu pun masyarakat dapat dari mana,kalau anak panah atau alat tradisional papua masuk akal tetapi,ko aneh sekali dibilang separatism papua membawa senja laras panjang dan bom maka,kami ditangkap lalu ditembak mati,ini tidak benar.

Tidaklah menjustifikasikan kerawanan di Papua berlebihan, terutama jelang pemilu. Tetapi jalan perdamaian yang telah menjadi agenda bersama haru di junjung. Papua di dorong semangat perdamaian, bukannya bergaya militerisme terus dalam mengantisipasi atau menyelesaikan masalah.

Jumat, 20 Februari 2009

Mahasiswa Papua Dintimidasi Aparat


JAKARTA] Sekelompok mahasiswa asal Papua mengaku diintimidasi oleh aparat keamanan untuk meninggalkan rumah kontrakan di Jalan Dukuh V Nomor 26, RW 002/RT 008, Kelurahan Dukuh, Jakarta Timur. Aparat yang mengaku dari BIN dan Mabes Polri berusaha mengusir mahasiswa karena dianggap terlalu sering berdemo.

Ditemui SP, Jumat (20/2), mahasiswa Papua mengaku tidak bersalah dan tidak akan meninggalkan kontrakan tersebut. Atas intimidasi itu, mereka siap untuk menempuh jalur hukum untuk mempertahankan hak. Apalagi warga sekitar tidak pernah merasa terganggu atau keberatan dengan keberadaan mereka.

"Kami akan tetap tinggal di sini. Apa pun yang terjadi, kami siap menempuh jalur hukum," ujar Ketua Mahasiswa Papua di Jakarta, Agus kosay.

Menurut Agus, sejak tanggal 15 hingga 17 Februari 2009, mereka selalu diintai oleh intel. Termasuk, asrama mahasiswa Papua yang berada di Jalan Jengki, Dewi Sartika, dan Cawang. Bahkan, pada tanggal 18 Februari 2009, intel-intel tersebut mulai mengintimidasi pemilik rumah untuk mengusir para mahasiswa asal Papua tersebut.

Pada Kamis (19/2) pukul 16.00, pemilik rumah kontrakan mendatangi para mahasiswa yang kuliah di Unas, UKI, dan Universitas Kerispatih ini, dengan membawa kuitansi dan uang Rp 6,4 juta yang merupakan uang sisa kontrak mereka selama delapan bulan. Oknum intel itu juga mengintimidasi pengurus RT dan RW.

"Kami sudah tinggal di sini selama 1,4 bulan. Kontrakan ini dibiayai Rp 11 juta per tahun oleh Pemda Wamena. Jika diusir, kami tidak tahu mau pindah ke mana. Makanya, kami tetap bersikukuh mempertahankannya," katanya.


Aksi Demonstrasi

Intimidasi yang dilakukan oleh para intel terjadi sejak mereka melakukan aksi demonstrasi di Kedutaan Besar (Kedubes) Jerman, Thamrin, Jakarta pada tanggal 14 Februari lalu. Ini terkait dengan adanya kunjungan delegasi HAM Jerman ke Papua di waktu yang sama untuk mengetahui kasus pelanggaran HAM yang terjadi di sana.

Mereka yang melakukan demonstrasi adalah mahasiswa Papua se-Jawa & Bali. Berkumpul di UKI, Cawang, mereka melakukan orasi di depan Kedubes Jerman perihal penyalahgunaan dana otonomi. Mereka menuntut agar dana tersebut dihentikan. Pasalnya, dana itu disalahgunakan untuk membiayai kegiatan militer.

Di tempat terpisah, Anggota Komisi I DPR RI Yoris Raweyai mempertanyakan masalah tersebut kepada Panglima TNI dan Kapolri. Intimidasi ini tidak boleh terjadi. [ISW/U-5]

Nasib Pejuang Integrasi Papua Dilupakan

Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Ungkapan itu, mencerminkan pengalaman warga negara Indonesia asal Provinsi Papua yang melintas batas dan menetap di negara tetangga Papua Nugini (PNG). Pelintas batas itu menyebar di Port Moresby, Wewak, Madang, Lae, Buka, Rabaul, Kingga, Daru, Vanimo, dan Manus. Sebanyak 708 orang dari ribuan pelintas tahun 1984 tersebut ingin kembali ke tanah kelahirannya atas kesadaran sendiri. Mereka melintas batas, karena alasan konflik sosial politik yang mengancam kelangsungan hidup.

Menurut Departemen Luar Negeri, pelintas batas tersebut akan kembali seusai pemilihan umum calon anggota legislatif 9 April 2009.

Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tedjo Soeprapto dalam rapat persiapan di Jayapura baru-baru ini mengungkapkan, pemulangan pelintas batas akan menghabiskan dana Rp 30 miliar untuk persiapan sarana dan prasarana, termasuk pembinaan. Dana berasal dari Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dua kabupaten yang paling banyak menerima kepulangan pelintas batas, yakni Jayapura 119 keluarga (451 jiwa) dan Boven Digoel 22 keluarga (108 jiwa). Selain itu, Kabupaten Merauke, Puncak Jaya, Tolikara, Mimika, Biak Numfor, dan Keerom.

Menurut Neles Tebay, pelintas batas yang pulang itu merupakan kemenangan diplomasi pemerintah. Kemenangan tersebut akan dimanfaatkan dalam diplomasi internasional. Mereka mau pulang karena Papua sudah aman dan diperlakukan mereka dengan baik. "Tetapi, kalau dana Rp 30 miliar digunakan untuk memperbaiki nasib pejuang integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak akan membuat pemerintah populer di luar negeri. Padahal, keutuhan NKRI disatukan oleh para pejuang," katanya.

Sementara, pemerintah melupakan pengorbanan pejuang integrasi, yakni Trikora, Gerakan Merah Putih, dan Dewan Musyawarah Pepera. "Pejuang yang masih hidup harus diperhatikan. Secara psikologis, yang diinginkan orang- orang Papua pejuang integrasi supaya dihormati, diingat, jasa-jasa mereka dihargai, dan dikenang. Sekalipun bantuan sosial itu tak seberapa, prinsipnya pemerintah mengakui keberadaannya sebagai pejuang dalam menegakkan keutuhan NKRI," ujarnya.

Mantan Wakil Ketua Gerakan Merah Putih, Joel Worumi yang dijebloskan Belanda berkali-kali ke penjara mengatakan, pelintas batas kembali ke Papua karena ini tanah kelahirannya.

Joel mengungkapkan pihaknya kecewa atas perlakuan pemerintah yang tak adil itu. Padahal, mereka sudah mengkhianati negara. Sedangkan, pejuang integrasi yang mempertaruhkan nyawa dan darah untuk keutuhan bangsa, kehidupannya memprihatinkan."Jangan hanya memprioritas pelintas batas yang mengkhianati keutuhan bangsa. Tolong berlaku adil juga untuk pejuang. Kalau pemerintah memperhatikan pengungsi yang kembali ke Papua dari PNG, tolong perhatikan kami juga," katanya.


Kesejahteraan

Senada dengan Worumi, mantan Komisaris Gerakan Merah Putih, Jantje Numberi menegaskan, pejuang membutuhkan sentuhan kesejahteraan dan dialog kemanusiaan. "Alangkah bahagianya ketika menjelang Pemilu 2009 maupun pemilihan presiden, diharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla berkesempatan berdialog dengan pejuang integrasi di Tanah Papua," katanya.

Sementara pejuang lain, Peter Wona mengatakan, mereka telah mempertahankan tetap berkibarnya bendera Merah Putih di Papua. Apakah pemerintah melupakan perjuangan masyarakat Papua? Padahal, mereka sudah memberikan segalanya bagi negara.

"Lalu apa yang kami dapat dari negara. Untuk itu, siapa pun yang menjadi presiden, orang Papua punya hak menjadi menteri atau menduduki berbagai jabatan di pemerintah pusat dalam mengukuhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu yang dipilih harus orang Papua yang berkualitas," katanya.

Harapan pejuang integrasi dan veteran di Papua dan Papua Barat dapat diwujudkan pemerintah. Menurut Presiden Susilo Bambang Yodhoyono dalam buku Semuanya Untuk Rakyat, pemerintah sangat peduli dengan veteran pejuang Kemerdekaan RI yang telah berjuang mengusir penjajah, membela dan mempertahankan NKRI. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, termasuk dalam meneruskan cita-cita dan perjuangannya.

Presiden Yudhoyono dalam buku itu antara lain menyatakan, pemerintah menyadari bahwa veteran lebih mengharapkan penghargaan daripada materi. Namun, pemerintah tetap memberikan tunjangan veteran yang berkisar antara Rp 470.000 sampai Rp 526.000 per bulan.

Selain itu, diberikan jaminan kesehatan bagi veteran beserta keluarga dan pemberian dana kehormatan veteran lain. Apakah ini diberikan juga untuk veteran di Papua? Dengan demikian mereka tak merasa dibiarkan dibandingkan pelintas batas yang kembali dari PNG ke Provinsi Papua dan Papua Barat. [SP/Wolas Krenak/Robert Isidorus]

Kamis, 19 Februari 2009

Ekuador Usir Diplomat AS

detikcom - Kamis, Februari 19, Diplomat AS diusir dari Ekuador. Marc Sullivan, diplomat tersebut dituduh mencampuri urusan dalam negeri Ekuador.

Pengumuman pengusiran tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Ekuador Fander Falconi. Dikatakannya, Sullivan punya waktu 48 jam untuk pergi dari negara itu. Sullivan merupakan diplomat AS kedua yang diusir dari Ekuador bulan ini dalam keributan seputar program memerangi narkoba yang didanai AS.

Pemerintah AS menyesalkan pengusiran pejabat kedutaan AS tersebut. "Kami menyesalkan keputusan oleh pemerintah Ekuador ini," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Gordon Duguid seperti dilansir kantor berita AFP, Kamis (19/2/2009).

"Kami juga membantah anggapan perbuatan salah oleh staf kedutaan," imbuhnya. "Meskipun adanya tindakan tidak adil pemerintah Ekuador, kami tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan Ekuador untuk memberantas perdagangan narkoba," pungkas Duguid.

Pada 7 Februari lalu, Presiden Ekuador Rafael Correa juga telah memerintahkan pengusiran Armando Astorga, diplomat AS yang bertanggung jawab atas isu imigrasi, keamanan dan bea cukai.

Astorga dituduh mencoba mendikte pilihan kepolisian Ekuador soal komandan unit anti-penyelundupan sebagai balasan atas bantuan AS senilai US$ 340.000. Kini pemerintah Ekuador menuding Sullivan mencoba melakukan hal yang sama.

Selasa, 17 Februari 2009

TNI, Puncak Jaya Papua Rawan



Ditulis Oleh: Lina/Papos

Rabu, 18 Februari 2009. JAYAPURA (PAPOS) –Pemindahan Kodim Agats ke Puncak Jaya sebagai rencana strategi Kodam XVII/Cenderawasih yang belum bisa terlaksana karena terkendala keterbatasan anggaran yang dimiliki TNI. Demikian ditegaskan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI A.Y Nasution kepada wartawan usai memimpin Rapim Kodam XVII/Cenderawasih di aula Tony Rompis, Selasa (17/2) kemarin. Pemindahan Kodim itu menurut Pangdam bukan dipincu karena pemekaran wilayah, namun sebagai langkah strategi TNI untuk mengantisipasi daerah rawan konflik umumnya seperti daerah terpencil misalnya Puncak Jaya. Dijelaskan Pangdam, wilayah seperti Puncak Jaya merupakan daerah yang perlu diwaspadai, namun pembentukan satuan baru TNI di daerah itu dilakukandidasari pada hakekat ancaman kedaulautan negara.


Disinggung Pemilu yang tinggal 53 hari lagi, TNI siap mengamankan jalannya pesta demokrasi tersebut dengan kesiapan membantu mengatasi keterlambatan pengiriman logistik pemilu ke daerah-daerah terpencil.

Antisipasi keterlambatan pengiriman logistic itu bilamana sewaktu-waktu TNI diminta untuk membantu asalkan ada persetujuan dari Mabes TNI serta adanya permohonan dari KPU. “TNI juga siap membantu Polri dalam pengamanan Pemilu,”tegas Pangdam. Sumber: (lina)


Pemahaman rakyat di wilayah ini seperti yang diutarakan Okama bahwa TNI /POLRI saat ini bertugas di kab.Puncak Jaya Papua, selalu saja melakukan teror terhadap masyarakat kampung yang ada disana, maka saat ini Kodim Agats mengatakan daerah rawan, tetapi saya berfikir bahwa yang bikin rawan konflik adalah TNI/POLRI sendiri yang melakukan terhadap masyarakat karena masyarakat tidak bisa diam selagi TNI melakukan kejahatan, pemerkosaan, dan perampasan ternak-ternak masyarakat di puncak jaya,maka menimbulkan koflik antara TNI dan pihak masyarakat.


TNI/POLRI di puncak jaya disebut-sebut bahwa di puncak jaya banyak OPM/Separatisme Itu omong kosong dan yang ada disana masyarakat kampung yang tidak tahu persoalan apa pun, tapi TNI/Polri yang membuat isu saja daerah rawan. Terkait dengan pemilihan umum 2009 53 hari lagi, tetapi masyarakat Papua dengan harapan sebelum tutup Freeport tidak akan ikut pemilihan umum 2009, karena Freeport salah satunya buat kejahatan di Provinsi Papua.

Senin, 16 Februari 2009

NASIB RAKYAT DI PEMILU 2009

Jakarta, 16/02/09. Pemilu Legislatif dan Presiden akan diselenggarakan di Indonesia tahun 2009. Dan waktu pun sudah dimata rakyat. Berbagai rival kampanye dan slogan-slogan perubahan di usung. Partai politik, Para Caleg dan Capres sudah beraktivitas menjemput kemenangan yang di perjuangkan dalam arena pemilu ini. Pemilihan langsung yang baru dua kali di gelar di Indonesia ( 2004 & 2009 ) menghantarkan nasib ratusan juta penduduk Indonesia kedalam arah perubahan. Sampai sekarang sudah tak bisa di hitung lagi berbagai elemen dan gerakan menyatakan hak atas keterlibatan dalam Pemilu yang tak lama lagi akan di selenggarakan.

Nah, apa saja lingkaran hitam para calon pemimpin bangsa ini. Berikut adalah Fenomena penguasaan sejumlah perusahaan di Indonesia yang di tulis Bung George Junus Aditjondro sekali gus di paparkan dalam Diskusi Bertema " Gerakan Lingkungan Hadapi Pemilu 2009 oleh Eknas Walhi pada 16 Februari 2009 di Kantor Walhi Tegal Parang. Dalam paparan ini terungkap sejumlah aset perusahaan milik para capres yang saat ini menuju kursi RI satu.

Pertanyaanya adalah darimana para partai dan caleg-capres dan cawapres mendanai kampanyenya? dan sejauh mana keberpihakan mereka terkait penuntasan sejumlah masalah HAM, Lingkungan hidup dan Eksplorasi tambang di Indonesia saat ini. Ketika hegemoni modal yang mengemuka dalam dukungan bagi proses politik di negeri ini justeru gagal memajukan kemakmuran bagi rakyat sendiri. Pemimpin justeru menyatukan segala kepentingannya kepada pendukung dana ketimbang mengentaskan kemiskinan rakyat.

Sejumlah fungsionaris Orde Baru berada dibalik SBY melalui Yayasan Cikeas dan Yayasan Nurulssalam yang di kelola keluarga SBY. Penasihat khusus SBY TB. Silalahi sebagai pelindung kelompok pengusaha Tomi Winata ( Kelompok Artha Graha dbp ). Sedangkan JK memiliki pengaruh kuat atas tiga perusahaan yang di kelola kerabat dekatnya " Kelompok Bukaka ". PT. Mega Power Mandiri ( MPM ) di Aceh, sumut dan Poso. Kemudian perusahaan tarik tambang PT. MGM yang sekarang membangun proyek PLN. di sejumlah wilayah. Kelompok perusahaan dan yayasan di lingkaran SBY-JK punya hubungan perusahaan yang berafiliasi dalam sejumlah proyek negara. Pembangunan PLTD besar-besaran, proyek kelapa sawit di Aceh hingga Papua Barat. Dan eksplorasi sejumlah perusahaan ini dianggap menimbulkan kerawanan masalah.

Setelah Megawati jadi Presiden, tali pemodal Sukarno-Kiemas menjadi satu. Ada 13 SPBU milik keluarga ini yang terbentang di zona hijau di Ibu kota Negara. kelompok Pebisnis keluarga Sukarno-Kiemas menjalin hubungan bisnis di beberapa daerah lewat jalur perusahaan lainnya. Ketimpangan Era Megawati terlihat jelas ketika menteri lingkungan begitu mandul dalam meneriaki kerusakan lingkungan oleh Freeport dan sejumlah perusahaan lainnya.

Prabowo Subianto mengambil alih konsensi Kiani Group seluas 53 ribu hektar dari Bob Hassan. Di Aceh, Prabowo dan adiknya Mengelola PT. Thusam Hutan Lestari seluas 97 ribu hektar, Nusantara Energi milik Prabowo juga mengelola deposit Batu Bara di Kaltim dan adiknya tengah mengelola eksplorasi Blok Gas di Rombebay Kabupaten Yapen Waropen Papua Barat. Juga masih di Papua Barat, Hasyim lewat PT. Comexindo berencana membuka perkebunan padi seluas 585 ribu hektar di Merauke Papua Barat. Kini Prabowo dan Hasyim telah menguasai jutaan hektar perkebunan, konsensi hutan, pertambangan batu bara, dan ladang migas dari Aceh hingga Papua Barat.

Sedangkan Wiranto-Bapak pencetus pemekaran Kodam-Korem di seluruh Indonesia ini mengandalkan bisnisnya yang dijalankan oleh Prixies tanpa menampilkan nama Wiranto. Lewat berbagai pertumpahan darah, atas dukungan Wiranto Kodam Pattimura dan Kodam Iskandar Muda telah lahir kembali. Sementara itu, setelah konflik poso, jumlah batalyon di sulteng dimekarkan dari 1 menjadi tiga batalyon. Dimana pemekaran sejumlah Kodam dan Koren hingga batalyon menumbuhkan bisnis militer yang akut. Pembalakan liar dan bisnis Kayu Gaharu sarat dengan bisnis Militer. Pengahancuran lingkungan semakin tidak bisa di pungkiri.

Capres lain yang tak ketinggalan juga punya aset perusahaan adalah Sang Raja di Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono X selain menguasai seluruh tanah di Jogja sepeninggalnya Belanda, Sultan juga punya hubungan erat dengan group samporna melalui hubungan bisnis Ratu Pembayun ( anak pertama Sultan ). Hubungan bisnis Rokok ini mendirikan pabrik rokok di Bantul dengan merek Kraton Dalem. Dengan pola yang sama, keluarga Sultan juga mendirikan PT. Agro Mining untuk menjadi mitra perusahaan asal Australia yang berusaha menambang pasir besi di Kabupaten Kulon Progo.

Dengan demikian, hubungan pemodal dalam kancah pemilu adalah tradisi bisnis yang lumrah. PT. Freeport di Papua adalah salah satu perusahaan Besar yang tak kalah pentingnya menyuplai berbagai kandidat yang menuju RI satu. Dan hubungan yang pahit antara Suharto-Freeport sebagai kenyataan bahwa sumbangsih Perusahaan asal Amerika ini terus melakukan hal yang sama dalam periodesasi pemilu dan kepemimpinan politik di Indonesia. Freeport juga tak bisa mengelak, bersama Ecson Mobil di Aceh, terus mendukung pentolan Papua Merdeka dan Aceh Merdeka dengan maksud menjadikan para pejuang Papua dan Aceh sebagai agen kapitalisme baru di Papua Barat dan Aceh.