Minggu, 08 Maret 2009

" ZONA " DAMAI VS DARURAT DI TANAH PAPUA

Tahun 2009 sekarang menarik ketika gerakan rakyat Papua Barat menuntut penyelesaian masalah Papua dimana disaat ini juga, seanteru rakyat di Indonesia diambang pilihan untuk ikut dalam memilih wakil rakyat dan nantinya juga memilih presiden dan wakil presiden untuk berbakti kepada rakyat, menjaga negara dan rakyat dari keterpurukan. Amanat rakyat kepada para pemimpin dalam perhelatan pemilihan umum sudah menjadi tradisi politik untuk sebuah negara demokrasi. Pemilu selalu di hebohkan dengan gerakan rakyat yang begitu beragam, sesuai dengan afiliasi keinginan masing-masing kelompok dan bangsa. Dinamika inilah, Desk Papua menulis sebuah pikiran sederhana mencoba mengangkat ada apa dibalik keinginan orang Papua untuk mengusung Papua sebagai daerah damai dan zona darurat.

Delapan puluh tujuh tokoh Agama seluruh Tanah Papua menyatakan sikap pada 15 september 2005, dalam rangka perayaan hari damai sedunia. Dalam tulisan dokumentasi yang di bukukan oleh Keuskupan Jayapura" membangun budaya damai dan rekonsiliasi " termaktup didalamnya keinginan para tokoh Papua untuk mendukung penyelesaian masalah di Papua dengan semangat damai. Latar belakang keinginan bersama ini lahir akibat dari keputusan pemerintahan Indonesia di era Megawati yang mengeluarkan kepres No. 1/2003 tentang percepatan pemekaran wilayah baru di Tanah Papua. Seruan untuk menuntut diadakannya budaya damai di Papua kemudian jadi semboyan " PAPUA ZONA DAMAI ".

Gaung zona damai bagi Papua berhasil mengilusi suprastruktur negara terutama perangkat pemerintahan di Papua juga tak luput mengayom semboyan Papua Tanah Damai. Dan sejak tahun dikeluarkannya sikap para tokoh Papua kepada pemerintah, dukungan pun datang dari berbagai kalangan pemerhati Papua dan juga rakyat Papua. Tanah Damai, damai dalam segala hal kebijakan dan tindakan, damai dalam mewujudkan rakyat Papua yang sejahtera dan berdaulat. Keharusan menuju damai dengan meniadakan cara-cara penyelesaian masalah dengan kekerasan dan kebijakan atas Tanah Papua dilakukan dengan dialog damai juga.

Toh, pemekaran wilayah tetap diberlakukan di Papua. Sudah ada kurang dari 10 wilayah pemekaran baru terbentuk dan provinsi Papua Barat sekarang berjalan walaupun seruan Papua damai lahir atas penolakan pemekaran propinsi ini. Reaksi keras orang Papua dalam ruang damai pun bergelora. Adalah pengembalian Otsus dalam bentuk peti mati oleh Dewan Adat Papua bahkan gerakan mahasiswa dan pemuda di dukung elemen rakyat pro rakyat lainnya untuk menuntut di tegakkan damai dan dialog untuk rakyat Papua. Mulai dari Isu referendum, tarik militer, tuntaskan pelanggaran HAM dan Ekologi, hingga mengusung payung Dialog Nasional dan Internasional sudah di lakukan oleh Bangsa Papua walaupun belum ada tindakan serius dari negara Indonesia menyambut tuntutan rakyat di Tanah Papua yang berjuang dengan semboyan Tanah Damai.

Indonesia sering di banggakan sebagai negara demokrasi, negara yang terus mengutamakan musywarah dan mufakat untuk suatu kebijakan. Dan budaya musyawarah di lampiaskan melalui mekanisme negara pula. Dewan Perwakilan Rakyat, Lembaga-lembaga independen dan kolektif tokoh masyarakat dan agamawan. Kegigihan para Tokoh Papua ini berhasil di pecahkan oleh entah siapa yang berkepentingan di Papua. Para tokoh baru bermunculan, blok pimpinan suku menjadi kronis. Semua serba bertanya-tanya, dia mewakili rakyat siapa dan bekerja untuk Papua Damai yang mana. Munculnya Ondoafi Ohe di Jayapura menuai friksi baru, apalagi terus di curigai ketika membentuk DAP Indonesia. Persatuan para tokoh yang terus memimpikan sebuah kebersamaan demi persatuan dalam ruang damai berlalu dengan dinamika keterpecahan. Dimanakah keampuhan semboyan Papua Zona Damai?.

Beralih kemudian fisi Papua tanah Damai menjadi wilayah Darurat yang diangkat dalam statemen perayaan Hut Papua 1 Desember 2008 di Makam Alm. Theys H Eluay sentani Jayapura. Sikap politik yang di kumandangkan oleh para tokoh yang didalamnya tertulis nama Pimpinan Besar Bangsa Papua Barat " Thom Beanal " ini menuai kebisingan baru bagi negara. Ya, pasca pembacaan statemen ini, aktivis Papua di incar. Buhtar Tabuni dan Sebi Sabom kini mendekam di tanahan. Untuk mendukung sikap pasca 1 Desember 2008 lalu, sejumlah gerakan rakyat mengembuskan suara Papua Tanah Darurat. Entah usia Papua Zona darurat masih baru, tetapi gerakan tersebut menghawatir negara Indonesia, apalagi menjelang proses pemilihan Umum juli 2009 akan datang.

Akankah tuntutun Papua dengan gerakan afiliasi politik begitu maksimal dalam pemenuhan hak-hak hidup Bangsa Papua Barat?. Jawabannya kembali pada kemauan politik dan sejauhmana peletakan tuntutan hari ini dengan kemauan politik para penguasa. Yang terjadi selama dideklarasikannya zona damai dan zona darurat adalah korban terus berjatuhan di Bumi suci Tanah Papua. Korban dari praktek ketidak adilan hukum, korban dari praktek kebingisan para tentara di Papua, sampai pada korban daripada hegemoni sistem yang menindas. Demokrasi sebuah solusi, tetapi demokrasi terus bermakna dalam praktek keadilan dan kemakmuran rakyat.

BERUDING UNTUK TANAH PAPUA

Dalam sebuh diskusi peluncuran buku berjudul " Papua; its problem and possibilities for a peaceful solution. Oleh SKP Jayapura, tim Desk Papua Barat memberi sebuah pertanyaan sederhana tentang sejauhmana prinsip kemakmuran rakyat Papua menjadi agenda Papua Tanah Damai yang di usung selama ini. Namun, tak satupun ide ini menyentuh dalam platform zona damai. Dan disitulah terkuak jika misi damai tidak ada yang lebih mendasar bagi perubahan di Tanah Papua, dan sekarang nasib yang sama, tatkala tidak jauh beda dengan ide Papua Zona Darurat.

Papua begitu rumit dari penyelesaian masalah. Demokrasi di Papua sangat diragukan keberpihakannya. Tetapi negara begitu banyak memiliki cadangan ekonomi di Papua. Kekayaan, keragaman budaya, dan letak Papua begitu strategis dari katulistiwa menakjubkan bagi Indonesia untuk membendung Papua dari ranah sabotase negara lain. Tetapi juga Papua jadi ajang eksplitasi dalam berbagai hal. Secara politik; hak politik Papua dieksploitasi demi kepentingan global. Secara ekonomi, sudah ada 300 perusahaan asing dan nasional injak kaki di Papua. Di tahun 2009 saja selain ( temuan Majalah Frobes ) sudah ada enam negara membuat konsensi untuk blok Karang dan minyak hingga kelapa sawit di Papua dengan dukungan modal dari kantong-kantong IMF, BANK DUNIA dan dana pemberdayaan dari USAID milik AS.

Dan menjelang pemilihan umum 2009, belum nampak instrumen negara untuk menjamin keharusan sejahtera dan makmur bagi orang Papua. Kerangka hukum negara terus melegitimasi kapitalisasi ekonomi orang Papua, suprastruktur negara masih mengutamakan orang Asing ketimbang orang Papua. Kenyataan pahit adalah, data statistik Papua menunjukan penduduk Asli termarginalkan di negeri mereka. Ruang pasar dan peningkatan ekonomi justeru diambil kaum imigran di Papua. Dan otsus gagal sudah dengan sendirinya di tengah kondisi Papua saat ini.

Untuk itu, harapan kesejahteraan bagi orang Papua belum menunjukan peningkatannya walaupun sudah ada dorongan dan niat baik untuk membangun Papua yang berkeadilan, bermartabat dan menjunjung demokrasi berpihak pada rakyat di Papua. Pemilu sudah dekat, penyelesaian Papua begitu jauh, marilah berunding dari kegagalan dan kemajuan Tanah Air Papua Barat, dan berunding untuk satu masalah dan gapailah perubahan dalam dinamika Papua hari ini.

Tidak ada komentar: