Minggu, 22 Maret 2009

US mining giant still paying Indonesia military

JAKARTA, Monday March 23, 10:19 AM (AFP) - US-based mining giant Freeport McMoRan is paying Indonesian troops to protect a large gold and copper mine in Papua, despite regulations requiring the military to hand over to police. The Arizona-based company said its local subsidiary paid "less than" 1.6 million dollars through wire transfers and cheques in 2008 to provide a "monthly allowance" to police and soldiers at and around the Grasberg mine.

The disclosure, made in response to questions from AFP, means the company continues to pay soldiers in contravention of a series of legal measures aimed at stopping military units working as paid protection, rights activists said. Grasberg sits on the world's largest gold and copper reserves, in a resource-rich but desperately poor region on the far eastern extreme of the Indonesian archipelago.

Pro-independence Papuan militants have waged a long-running insurgency against Indonesian rule in the province, and human rights monitors say Freeport's payments help fund military abuses against the local population. The latest attempt to cut the military out of protection payments -- part of broader democratic reforms -- came in a 2007 ministerial decree setting a six-month deadline for police to take over security of "vital national objects." The less-than-1.6-million in direct payments are part of eight million dollars Freeport paid in broader "support costs" for 1,850 police and soldiers protecting Grasberg last year, according to a company report filed with the US Securities and Exchange Commission last month.

While most of the direct payments go to the police-led Amole task force at the mine, soldiers and police in surrounding areas are also receiving payments, Freeport spokesman Bill Collier said. "Although the bulk of our support is directed to supporting the Amole task force, we do provide some financial assistance to the police and military who are assigned to the general area surrounding our operations," Collier said. A 2005 report by rights group Global Witness alleged Freeport had paid hundreds of thousands of dollars directly to senior police and military officers between 2001 and 2003. The accusations are just one of many public relations headaches for Freeport, the largest single taxpayer to the Indonesian government. Claims of rights abuses and environmental damage at the mine are difficult to verify as Indonesia restricts travel by foreign journalists to Papua and Freeport seldom allows media into its area of operations. Freeport's Collier did not say if the 2008 transfers included large-scale payments -- in cash or in kind -- to senior officers. But he said the company's actions were within the law. However, Rafendi Djamin, coordinator of rights organisation the Human Rights Working Group, said the military payments were clearly illegal although payments to police, while ethically questionable, were permitted. "The safest thing to say for sure is they (payments to the military) are against the law.

They are against government regulations, ministerial as well as presidential decrees," Djamin said. Indonesian Energy and Mineral Resources Minister Purnomo Yusgiantoro declined a request to be interviewed on the legality of the payments. Global Witness campaigner Diarmid O'Sullivan said Freeport's disclosure of payments left unanswered questions over whether the company is paying large sums to senior officers. "Even now, the company still doesn't publish enough detail about its security payments to clearly confirm that this practice has stopped," O'Sullivan said. Also unanswered is just how many soldiers are being paid. Nyoman Suastra, the commander of the Amole task force officially assigned to guard the mine, told AFP there are 447 personnel in the task force, which includes some soldiers. Subtracting that number from the 1,850 police and military personnel Freeport acknowledges it paid last year, it means the company is paying 1,400 security personnel outside the mine, an unspecified number of them soldiers. "It is disturbing that Freeport still seems reluctant to answer the most important questions, which are: who in the security forces ends up with these allowances, how much money do they get and what is the legal basis for these payments?" O'Sullivan said.

Jumat, 20 Maret 2009

Diplomasi Pantun Bikin Dedengkot OPM Pulang Kampung

Pulang Kampung bukan hal baru bagi seorang perantau. Namun, kasus di Papua justeru punya makna politis. Rindu kampung halaman, sanak saudara dan kerabat adalah filosofi hidup manusia yang biasa di lakukan disaat waktu senja dan akhir menjelang hari libur.

Menarik ketika para Tokoh Papua sekaligus di klaim sebagai pentolan OPM menurut Sumber Detik Com...( diplomasi pantun bikin dedengkot OPM Pulang Kampung ). Salah satu pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicolas Jouwe hari ini pulang kampung ke Indonesia. Nicolas bersedia pulang kampung, salah satunya karena diplomasi pantun.Adalah Dubes RI untuk Belanda Junus Effendy Habibie yang berperan dalam diplomasi pantun itu. Junus berkisah, dedengkot OPM itu sudah tinggal selama 40 tahun di Belanda dan tidak mau ke Indonesia sama sekali.

"Dan tidak mau ketemu dengan pejabat Indonesia. Baru saya dia mau. Sampai dia kasih pantun ke saya. Kita berdiplomasi, berdialog dengan pantun. Dia bilang 'Saya orang Papua berjuang sampai sekarang untuk kemerdekaan Papua'. Saya bilang 'Saya nasionalis NKRI. Saya mau Papua bukan jadi tetangga saya, tapi keluarga saya'," ujar Fanny, panggilan akrab JE Habibie.

Fanny menyampaikan hal itu usai bertemu dengan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (19/3/2009).

Adik dari mantan Presiden BJ Habibie ini pun menambahkan bahwa ada 4 pantun yang dilontarkan Nicolas kepadanya, saat bertemu pada 23 Februari 2009 lalu.

"Angin timur gelombang barat, kapal angkasa warna merpati. Bapak di timur beta di barat, apakah rasanya di dalam hati," ucap Fanny menirukan Nicolas.

"Terus saya bilang begini, 'Laju-laju perahu laju, laju-laju ke Surabaya. Biar lupa kain dan baju, orang tua jangan lupa pada saya," celoteh Fanny.

Nicolas pun membalas pantun,"Naik-naik ke batu gajah, rasa haus makan kwini. Beta rasa sengaja saja, siapa tahu jadi kok begini."

"Potong di kuku rasa di daging. Ale rasa beta rasa. Ketemu tua bersaudara satu sama lain," imbuh Nicolas seperti ditirukan Fanny.

"Saya pun membalas, 'Riang-riang ke Bangka hulu, ramah-ramah si batang padi. Diam-diam sabar dahulu, lama-lama toh akan jadi'," ujar dia.

"Terakhir dia kasih begini, 'Ayam putih mari kurantai, kasih makan ampas kelapa. Budi Bapak Dubes sudah sampai, beta mau balas dengan apa," jelas Fanny.

Bagaimana respon JK atas pertemuan Bapak dengan Nicolas yang berhasil membuatnya pulang ke Indonesia?

"Bagus, bagus, bagus, bagus. Apa yang bagus untuk bangsa kita, dia kemukakan," tandas dia.***

Kamis, 12 Maret 2009

ONPB "Deklarasikan" Pemerintahan Transisi

JAYAPURA-Sekelompok orang yang mengaku dari Pemerintahan Transisi Otoritas Nasional Papua Barat (ONPB), Kamis (12/3) kemarin, menggelar sebuah pertemuan di sebuah gedung belakang Kampus Uncen lama.


Menariknya, pertemuan itu mereka namai pendeklarasian terbentuknya sebuah pemerintahan transisi, berikut perangkat kesiapan menjadi sebuah negara. Awalnya rencana pendeklarasian ini akan dilakukan secara terbuka di depan gapura Uncen lama, namun karena tidak mendapatkan izin akhirnya lokasi deklarasi dialihkan ke sebuah gedung dibelakang kampus Uncen lama.


Prosesi pendeklarasian ini juga ditunjukkan beberapa spanduk dan tulisan 'Bangsa Papua Barat sudah punya pemerintahan transisi' yang disampingnya ditempel gambar bintang kejora. Tulisan lainnya yakni Executive President (Edison Waromi, SH) of the West Papua National Authority (WNPA) the Provisional Goverment in West Papua, juga tergambar bintang kejora disisi kiri, bebaskan tapol napol dari penjara NKRI, RI segera buka diri dan merdeka harga mati. Pendeklarasian awalnya dibacakan oleh Drs Frans Kapisa yang mengaku selaku Menkopolkam sekaligus Menteri Pertahanan di pemerintahan transisi ONPB. Ia menyampaikan bahwa selama ini bangsa Papua Barat masih berada dalam penjajahan. Belanda menjajah lalu akhirnya keluar, namun kembali memasukkan ke kandang UNTEA dan setelah keluar dari UNTEA dimasukkan lagi ke Indonesia.


Hingga menurutnya terjadi berbagai konspirasi dan akhirnya Papua Barat benar-benar masuk dalam NKRI. Meski berbagai persoalan dan tantangan yang dialami membuat rakyat Papua Barat terus berjuang, namun tetap dengan cara yang bermartabat dan membawa persoalan Papua untuk diselesaikan melalui mekanisme internasional dan untuk memenuhi syarat yang diminta, maka pemerintah Papua Barat lahir menjadi lembaga politik untuk mengantarkan Papua Barat ke komisi dekolonisasi PBB.


"Kami sudah menyiapkan segala persyaratan untuk mendaftar di dekolonosasi PBB dan jika tidak ada halangan, maka bulan ini tim kerja sedang mempersiapkan dan berangkat ke Amerika untuk mendaftarkan masalah Papua ke PBB. Kami harap dari pendaftaran masalah Papua ini, Indonesia berjiwa besar untuk menerima kami," harapnya. Dari pemaparan lebih jauh, Frans Kapisa mengatakan selama keinginan yang diinginkan masyarakat Papua Barat tidak terpenuhi, maka Indonesia jangan pernah berfikir bahwa suara tersebut akan hilang, tetapi generasi selanjutnya akan terus menyuarakan hal serupa hingga menemukan apa yang dicita-citakan.


Namun menurutnya ada batas waktu yang bisa diberikan sebagai bentuk toleransi. "Sebagai bangsa yang bermartabat, kami selalu mengajak pemerintah Indonesia dengan cara damai hingga waktu yang ditentukan. Mengapa Indonesia takut untuk dilakukan referendum, itu karena mereka paham bukan sebagian kecil yang ingin memisahkan diri," papar Frans yang menegaskan jangan ada pikiran bahwa kebijakan Otsus menjadi obat luka selama ini.


Dikatakan, apabila dari batas waktu yang ditentukan Indonesia tetap mengambil sikap tertutup dan masa bodoh, maka diambil cara paksa. "Kami sudah siapkan diri baik menggunakan tentara nasional kami dan semua dukungan yang ada dan jika berani silahkan Indonesia menangkap Edison Waromi karena dia sebagai penanggung jawab," tegas Frans meyakinkan.


Keyakinan ini juga diperkuat dengan menyampaikan bahwa blangko untuk mendaftarkan Papua ke PBB sudah ada dan tinggal mendaftarkan diri. Dikatakan, cepat atau lambat Papua akan dibahas di PBB karena masalah Papua saat ini menjadi isu nomor 3 di dunia, pertama tentang Irak, Pelastina-Israel dan Papua sendiri. "Dari deklarasi ini pemerintah Indonesia sadar bahwa ada bangsa yang merasa belum didukung oleh mekanisme internasional untuk bersatu dengan pemerintahan Indonesia," ungkap Frans Kapisa. Melihat kebelakang mengenai proses penggabungan Papua saat itu dikatakan kebebasan untuk menyampaikan aspirasi ini ditutup oleh bangsa-bangsa lain, terutama Amerika, Belanda, Indonesia termasuk lembaga PBB yang menyetujui satu keputusan yang keliru sehingga membuat masyarakat Papua Barat masih terjajah.


Lalu tanggal 29 Desember 1961 pemerintah Indonesia yang dibantu Rusia dan Amerika Serikat menyatukan Papua Barat ke Indonesia dan pada posisi tersebut Indonesia mengklaim bahwa penggabungan tersebut menjadi satu rencana mulia untuk mendukung martabat dan persamaan derajat kaum Melanesia.


Di sela-sela acara, Pdt Terrianus Yocku yang mengaku selaku Presiden Nasional Kongres menegaskan bahwa pemerintahan transisi Papua Barat telah siap untuk mengambil alih semua bentuk pemerintahan yang ada untuk mengatur penyelesaian masalah internasional Papua dengan Indonesia. "Apabila Indonesia sudah membuka diri, maka kami siap untuk mengambil alih bentuk pemerintahan transisi," tegas Terry yang menegaskan bahwa Otsus gagal dan tidak berhasil mensejahterakan rakyat Papua. Poin lainnya penilaian masyarakat di tingkat daerah hingga pusat bahwa orang Papua merupakan orang paling bodoh, maka ia menyerukan kepada seluruh masyarakat Papua Barat bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi mampu mendidik orang Papua menjadi cerdas.


Terry secara meyakinkan berjanji akan membuka akses ke dunia internasional untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua Barat mengeyam pendidikan ke luar negeri. "Bahkan peraturan Otonomi Khusus No 12/1969, No 8/1972, No 5/1974 dan No 21/2001 telah gagal dimasyarakat Papua Barat dan tidak satupun bentuk pembangunan yang menyentuh ke masyarakat bawahini sudah diketahui secara umum ," tegasnya.


Sementara ditambahkan koordinator wilayah 2 yang juga mengaku menjabat sebagai Gubernur pemerintahan transisi Papua Barat, Markus Yelu bahwa Indonesia seharusnya mengakui adanya pemerintahan transisi, karena selama ini banyak hal yang sudah merugikan rakyat Papua Barat dan proses pemisahan ini akan melibatkan pihak ketiga yang bukan dari Indonesia. Hari ini atas nama masyarakat Papua Barat dan pemerintah peralihan kami sampaikan deklarasi ke pemerintah Indonesia bahwa hak-hak asasi Papua Barat terutama hak politik harus dikembalikan kepada masyarakat Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri ditanah sendiri. (ade)


Sumber : Cenderawasih.pos


NB:

Foto diatas diambil dari dokumentsi Kompas terkait aksi ONPB di Papua

Rabu, 11 Maret 2009

Rokok Haram, Freeport Bagaimana?

Oleh: Khalisah Khalid

JUDUL di atas tiba-tiba menggelitik saya, ketika melihat siaran di sebuah stasiun televisi (3 Desember 2008) di mana Menteri Perindustrian menjadi salah satu pembicaranya. Isu yang dibahas seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haram merokok dan dampak ikutannya. Saya tidak hendak ikut-ikutan setuju atau tidak dengan fatwa MUI, tetapi saya mencoba melihat sisi lain yang mungkin luput dari pandangan kita.

Saya tertegun atas pernyataan atau tepatnya hitung-hitungan Menteri Perindustrian tentang kisaran angka yang diperoleh negara dari cukai rokok, yakni Rp 53 triliun. Angka yang cukup besar untuk menambah pundi-pundi negara. Karena itulah fatwa MUI itu kemudian tampaknya menempatkan pemerintah seperti berada di simpang jalan: setuju dengan alasan melindungi warga negara dari kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak; tidak setuju karena nasib sekitar 10 juta orang bergantung pada industri bernama “Tuhan sembilan senti”, seperti diistilahkan Taufik Ismail, baik yang bersentuhan langsung di pabrik maupun orang-orang yang tidak secara langsung bergelut dengan mesin pabrik.


Bukan Rp 53 triliun itu yang membuat saya tertegun, melainkan hitungan berikutnya. Jika angka tersebut dibandingkan dengan royalti yang didapatkan dari perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia, yang lagi-lagi mengutip pernyataan Bapak Menteri itu, angka royaltinya paling tinggi mencapai Rp 20 triliun. Itu pun sudah mendapatkan bonus dengan menyandang sebagai perusahaan pembayar royalti terbaik dari majalah tambang pada tahun 2008. Artinya, segitulah pundi-pundi kas negara yang masuk dari perusahaan emas yang sudah tiga dasawarsa menguras isi perut Papua, meskipun tidak pernah dihitung ongkos lain yang ditimbulkan akibat praktik industri pertambangan baik berupa kerusakan lingkungan maupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang semuanya difasilitasi dengan baik oleh negara.

Dalam logika saya yang paling sederhana muncul pikiran, jika begitu angkanya, seharusnya pengurus negara ini berpikir ulang untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai sumber pendapatan ekonomi bangsa. Pun sudah ditempatkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi, toh keuntungannya jauh lebih besar dari industri rokok yang sekarang difatwakan haram. Namun lagi-lagi saya juga tidak hendak hitung-menghitung angka keuntungan baik yang bersumber dari cukai rokok maupun dari royalti PT Freeport Indonesia.

Yang menarik bagi saya untuk dipertanyakan lebih jauh adalah ketika pengharaman rokok dihubungkan dengan sebuah nilai kemaslahatan dan kemudaratan. Ditafsirkan bahwa merokok lebih banyak mudaratnya, khususnya bagi warga negara tertentu, dibandingkan dengan maslahatnya, sehingga demi kesehatan masyarakat maka MUI mengeluarkan fatwa haram tersebut. Nah, saya juga ingin menariknya pada satu kondisi dari nilai yang sama yang dijadikan sebagai alat tafsir, yakni maslahat dan mudarat dalam industri ekstraktif seperti tambang emas yang antara lain dikerjakan oleh PT Freeport. Jika dinilai, sungguh kemudaratannya jauh lebih besar ketimbang kemaslahatannya bagi umat manusia. Kemaslahatan (itu pun jika ada) yang paling mungkin dirasakan oleh segelintir elite baik pusat maupun lokal, tapi kemudaratannya paling tidak dicatat oleh organisasi yang concern bekerja untuk isu lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang, di mana PT Freeport Indonesia yang konon memberikan kontribusi pendapatan negara, sesungguhnya lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan lingkungan. Angka tertinggi Rp 20 triliun royaltinya harus dibayar dengan harga yang juga sangat tinggi oleh rakyat akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup yang tidak terpulihkan.

Jika Taufik Ismail yang menyebut Indonesia sebagai surga luar biasa ramah bagi para perokok, negeri ini juga menjadi surga bagi industri tambang. Datang, gali, dan pergi, semuanya difasilitasi negara. Jasa keamanannya, undang-undangnya, bahkan berkali-kali dengan iklan-iklannya. Apa itu bukan surga?

Saya menilai fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjadi satire didengar. Sebab, sebelum-sebelumnya lembaga ini hampir absen mengeluarkan fatwa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jika merokok haram bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak demi kemaslahatan, mengapa MUI tidak sekalian saja mengeluarkan fatwa haram terhadap perusahaan industri tambang seperti PT Freeport, untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap limbah industri tambang? Sumber: Jatam


Khalisah Khalid adalah Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012; Juga sebagai Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia.

Minggu, 08 Maret 2009

" ZONA " DAMAI VS DARURAT DI TANAH PAPUA

Tahun 2009 sekarang menarik ketika gerakan rakyat Papua Barat menuntut penyelesaian masalah Papua dimana disaat ini juga, seanteru rakyat di Indonesia diambang pilihan untuk ikut dalam memilih wakil rakyat dan nantinya juga memilih presiden dan wakil presiden untuk berbakti kepada rakyat, menjaga negara dan rakyat dari keterpurukan. Amanat rakyat kepada para pemimpin dalam perhelatan pemilihan umum sudah menjadi tradisi politik untuk sebuah negara demokrasi. Pemilu selalu di hebohkan dengan gerakan rakyat yang begitu beragam, sesuai dengan afiliasi keinginan masing-masing kelompok dan bangsa. Dinamika inilah, Desk Papua menulis sebuah pikiran sederhana mencoba mengangkat ada apa dibalik keinginan orang Papua untuk mengusung Papua sebagai daerah damai dan zona darurat.

Delapan puluh tujuh tokoh Agama seluruh Tanah Papua menyatakan sikap pada 15 september 2005, dalam rangka perayaan hari damai sedunia. Dalam tulisan dokumentasi yang di bukukan oleh Keuskupan Jayapura" membangun budaya damai dan rekonsiliasi " termaktup didalamnya keinginan para tokoh Papua untuk mendukung penyelesaian masalah di Papua dengan semangat damai. Latar belakang keinginan bersama ini lahir akibat dari keputusan pemerintahan Indonesia di era Megawati yang mengeluarkan kepres No. 1/2003 tentang percepatan pemekaran wilayah baru di Tanah Papua. Seruan untuk menuntut diadakannya budaya damai di Papua kemudian jadi semboyan " PAPUA ZONA DAMAI ".

Gaung zona damai bagi Papua berhasil mengilusi suprastruktur negara terutama perangkat pemerintahan di Papua juga tak luput mengayom semboyan Papua Tanah Damai. Dan sejak tahun dikeluarkannya sikap para tokoh Papua kepada pemerintah, dukungan pun datang dari berbagai kalangan pemerhati Papua dan juga rakyat Papua. Tanah Damai, damai dalam segala hal kebijakan dan tindakan, damai dalam mewujudkan rakyat Papua yang sejahtera dan berdaulat. Keharusan menuju damai dengan meniadakan cara-cara penyelesaian masalah dengan kekerasan dan kebijakan atas Tanah Papua dilakukan dengan dialog damai juga.

Toh, pemekaran wilayah tetap diberlakukan di Papua. Sudah ada kurang dari 10 wilayah pemekaran baru terbentuk dan provinsi Papua Barat sekarang berjalan walaupun seruan Papua damai lahir atas penolakan pemekaran propinsi ini. Reaksi keras orang Papua dalam ruang damai pun bergelora. Adalah pengembalian Otsus dalam bentuk peti mati oleh Dewan Adat Papua bahkan gerakan mahasiswa dan pemuda di dukung elemen rakyat pro rakyat lainnya untuk menuntut di tegakkan damai dan dialog untuk rakyat Papua. Mulai dari Isu referendum, tarik militer, tuntaskan pelanggaran HAM dan Ekologi, hingga mengusung payung Dialog Nasional dan Internasional sudah di lakukan oleh Bangsa Papua walaupun belum ada tindakan serius dari negara Indonesia menyambut tuntutan rakyat di Tanah Papua yang berjuang dengan semboyan Tanah Damai.

Indonesia sering di banggakan sebagai negara demokrasi, negara yang terus mengutamakan musywarah dan mufakat untuk suatu kebijakan. Dan budaya musyawarah di lampiaskan melalui mekanisme negara pula. Dewan Perwakilan Rakyat, Lembaga-lembaga independen dan kolektif tokoh masyarakat dan agamawan. Kegigihan para Tokoh Papua ini berhasil di pecahkan oleh entah siapa yang berkepentingan di Papua. Para tokoh baru bermunculan, blok pimpinan suku menjadi kronis. Semua serba bertanya-tanya, dia mewakili rakyat siapa dan bekerja untuk Papua Damai yang mana. Munculnya Ondoafi Ohe di Jayapura menuai friksi baru, apalagi terus di curigai ketika membentuk DAP Indonesia. Persatuan para tokoh yang terus memimpikan sebuah kebersamaan demi persatuan dalam ruang damai berlalu dengan dinamika keterpecahan. Dimanakah keampuhan semboyan Papua Zona Damai?.

Beralih kemudian fisi Papua tanah Damai menjadi wilayah Darurat yang diangkat dalam statemen perayaan Hut Papua 1 Desember 2008 di Makam Alm. Theys H Eluay sentani Jayapura. Sikap politik yang di kumandangkan oleh para tokoh yang didalamnya tertulis nama Pimpinan Besar Bangsa Papua Barat " Thom Beanal " ini menuai kebisingan baru bagi negara. Ya, pasca pembacaan statemen ini, aktivis Papua di incar. Buhtar Tabuni dan Sebi Sabom kini mendekam di tanahan. Untuk mendukung sikap pasca 1 Desember 2008 lalu, sejumlah gerakan rakyat mengembuskan suara Papua Tanah Darurat. Entah usia Papua Zona darurat masih baru, tetapi gerakan tersebut menghawatir negara Indonesia, apalagi menjelang proses pemilihan Umum juli 2009 akan datang.

Akankah tuntutun Papua dengan gerakan afiliasi politik begitu maksimal dalam pemenuhan hak-hak hidup Bangsa Papua Barat?. Jawabannya kembali pada kemauan politik dan sejauhmana peletakan tuntutan hari ini dengan kemauan politik para penguasa. Yang terjadi selama dideklarasikannya zona damai dan zona darurat adalah korban terus berjatuhan di Bumi suci Tanah Papua. Korban dari praktek ketidak adilan hukum, korban dari praktek kebingisan para tentara di Papua, sampai pada korban daripada hegemoni sistem yang menindas. Demokrasi sebuah solusi, tetapi demokrasi terus bermakna dalam praktek keadilan dan kemakmuran rakyat.

BERUDING UNTUK TANAH PAPUA

Dalam sebuh diskusi peluncuran buku berjudul " Papua; its problem and possibilities for a peaceful solution. Oleh SKP Jayapura, tim Desk Papua Barat memberi sebuah pertanyaan sederhana tentang sejauhmana prinsip kemakmuran rakyat Papua menjadi agenda Papua Tanah Damai yang di usung selama ini. Namun, tak satupun ide ini menyentuh dalam platform zona damai. Dan disitulah terkuak jika misi damai tidak ada yang lebih mendasar bagi perubahan di Tanah Papua, dan sekarang nasib yang sama, tatkala tidak jauh beda dengan ide Papua Zona Darurat.

Papua begitu rumit dari penyelesaian masalah. Demokrasi di Papua sangat diragukan keberpihakannya. Tetapi negara begitu banyak memiliki cadangan ekonomi di Papua. Kekayaan, keragaman budaya, dan letak Papua begitu strategis dari katulistiwa menakjubkan bagi Indonesia untuk membendung Papua dari ranah sabotase negara lain. Tetapi juga Papua jadi ajang eksplitasi dalam berbagai hal. Secara politik; hak politik Papua dieksploitasi demi kepentingan global. Secara ekonomi, sudah ada 300 perusahaan asing dan nasional injak kaki di Papua. Di tahun 2009 saja selain ( temuan Majalah Frobes ) sudah ada enam negara membuat konsensi untuk blok Karang dan minyak hingga kelapa sawit di Papua dengan dukungan modal dari kantong-kantong IMF, BANK DUNIA dan dana pemberdayaan dari USAID milik AS.

Dan menjelang pemilihan umum 2009, belum nampak instrumen negara untuk menjamin keharusan sejahtera dan makmur bagi orang Papua. Kerangka hukum negara terus melegitimasi kapitalisasi ekonomi orang Papua, suprastruktur negara masih mengutamakan orang Asing ketimbang orang Papua. Kenyataan pahit adalah, data statistik Papua menunjukan penduduk Asli termarginalkan di negeri mereka. Ruang pasar dan peningkatan ekonomi justeru diambil kaum imigran di Papua. Dan otsus gagal sudah dengan sendirinya di tengah kondisi Papua saat ini.

Untuk itu, harapan kesejahteraan bagi orang Papua belum menunjukan peningkatannya walaupun sudah ada dorongan dan niat baik untuk membangun Papua yang berkeadilan, bermartabat dan menjunjung demokrasi berpihak pada rakyat di Papua. Pemilu sudah dekat, penyelesaian Papua begitu jauh, marilah berunding dari kegagalan dan kemajuan Tanah Air Papua Barat, dan berunding untuk satu masalah dan gapailah perubahan dalam dinamika Papua hari ini.

Senin, 02 Maret 2009

Papua Resmi Gratiskan Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan


Redaksi Desk:
Ketetapan daerah Provinsi oleh Gubernur Papua saat ini membuka tabir dunia bahwa sepantas pantas nya Tanah yang kaya raya punya hak untuk menikamati sumber daya alam di wilayah mereka. Artinya, pendidikan gratis dan kesehatan gratis sudah harus berlaku bagi orang Papua. Walaupun kebijakan ini masih sangat baru dan rentan dalam implementasinya, tetapi dasar utama sudah ada. Keputusan Gubernur no 5 dab 6 adalah pokok utama dalam bertindak bagi pemenuhan hak rakyat.

Papua adalah provinsi ke-dua yang menggratiskan biaya pendidikan, setelah Bupati Kabupaten Sulawesi Tenggara menyatakan hal yang sama. Barnabas Suebu, tercatat sebagai orang Papua yang senang menjalankan pola kebijakan mirip Kapitalis Eropa ini terus menyuarakan gebrakan di Papua. Politik Pembangunan kampung walaupun belum maksimal, tetapi akibat kebijakan belia inilah, segudang aparat KOPASSUS memblokade gedung Dok II Jayapura dengan alasan tidak jelas.

Begitu juga, dalam kebijakan Gubernur selama di Papua inilah membuat PArtai Buruh Pak Mohtar Pakpahan mencatatkan nama Gubernur Papua ini sebaga menteri pertahanan dalam struktur kabinet Partai Buruh di tahun 2009 ini. Akankah malapetaka kemiskinan, kesenjangan sosial orang Papua dengan kekuatan globalisasi sekarang dapat berubah kearah yang lebih baik?. Semoga...

Papua Resmi Gratiskan Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan

Berlaku Mulai Hari ini-Cepos

JAYAPURA-02 Maret 2009 05:25:18. Pembebasan biaya pendidikan tingkat dasar (SD dan SMP) dan pengurangan biaya pendidikan bagi orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah, serta pembebasan biaya pelayanan kesehatan di Provinsi Papua, mulai hari ini, Senin (2/3) resmi diberlakukan.

Hal ini setelah, Gubernur Papua, Barnabas Suebu,SH telah menetapkan dua Peraturan Gubernur Provinsi Papua, yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Papua No.5 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua, pada jenjang pendidikan menengah, dan Peraturan Gubernur Provinsi Papua No 6 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pelayanan kesehatan.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu,SH saat memberika keterangan pers di Gedung Negara, Sabtu malam (28/2) mengatakan, salah satu agenda yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh yaitu kegiatan pembangunan yang focus kepada rakyat, focus kepada human development.

Mulai dari ibu hamil, bayi, anak-anak yang harus sekolah baik, pendidikan dasar dan menengah yang harus baik, pelayanan kesehatan harus baik, rumah tinggal juga harus baik, air untuk minum juga harus baik, ekonomi harus tumbuh mulai dari kampung. "Misi ini adalah misi yang besar, tidak gampang, yang kita sebut sebagai Rencana Stretegis Pembangunan Kampung (Respek) yang kita tambahkan lagi menjadi Gerakan Masyarakat untuk Pembangunan Kampung (GMPK). Kekuatan manusia dan budayanya, kekuatan alam di sekitarnya, kita bangun dari bawah, sehingga pada saatnya kekuatan ini akan membuat masyarakat mampu dan mandiri untuk membangun dirinya," ujar gubernur.

Berkaitan dengan itu, pihaknya mendatangani dua peraturan gubernur, yaitu tentang pempembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah, dan tentang pembebasan biaya pelayanan kesehatan. "Semua penduduk Papua dibebaskan dari biaya pelayanan kesehatan pada tingkat Puskesmas, Pembantu Puskesmas (Pustu) dan pada tingkat rumah sakit provinsi ada tiga yaitu RSUD Jayapura (dok II), RSUD Abepura dan Rumah Sakit Jiwa Abepura. Khusus penduduk asli Papua yang tidak mampu dibebaskan dari biaya," tandasnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 Peraturan Gubernur Provinsi Papua No 6 Tahun 2009, jenis pelayanan kesehatan yang dibebaskan bagi orang asli Papua yang tidak mampu melalui fasilitas kesehatan rumah sakit meliputi: pertama, rawat inap klas III dengan kebutuhan medik yang menyertainya mencakup tindakan medik, tindakan operatif, pelayanan obat, penunjang diagnostik dan pelayanan medik lainnya, termasuk pelayanan darah. Kemudian rawat inap intensif, pelayanan cuci darah, pelayanan gawat darurat dan pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan beserta kebutuhan medik yang menyertainya.
"Kebijakan ini nanti akan diikuti oleh semua rumah sakit pemerintah yang ada di kabupaten/kota. Konsekuensi biaya akibat kebijakan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua dan sebagiannya dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota oleh karena rumah sakit yang dimiliki pemerintah kabupaten dibebankan dari APBD kabupaten yang bersangkutan dan kita dari provinsi memberikan dukungan terhadap kekurangan mereka," terangnya sambil menegaskan, kebijakan ini mulai dilaksanakan mulai hari ini, Senin (2/3).

Berikutnya, tentang pembebasan biaya pendidikan, gubernur menyatakan, semua warga negara Indonesia penduduk Papua (tidak hanya orang asli Papua), dibebaskan dari biaya pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam rangka wajib belajar sembilan tahun. "Mereka harus dibebaskan dari semua jenis pungutan oleh sekolah, kecuali apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak, itu mutlak dengan persetujuan komite sekolah. Apabila ada rapat komite sekolah, maka beban yang diberikan kepada orang tua murid, tidak boleh sama. Harus diklasifikasi sesuai dengan tingkat pendapatan orang tua murid," tuturnya.

Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah, baik SMA maupun SMK, pembebasan ini hanya berlaku bagi penduduk asli Papua yang tidak mampu. Mereka dibebaskan dari semua jenis pungutan. "Termasuk apabila komite sekolah itu memutuskan menyetujui ada biaya yang dibebankan kepada orang tua murid, maka yang tidak mampu ini tetap dibebaskan," tegas Suebu.

Sekedar diketahui, sebagaimana diatur dalam pasal 6 Peraturan Gubernur No 5 Tahun 2009, peserta didik orang asli Papua yang menerima pembebasan biaya pendidikan itu adalah peserta didik dari keluarga petani, nelayan tradisional, buruh kasar, dan keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Kemudian dari keluarga pegawai negeri golongan I dan II, TNI/Polri dan swasta yang setara dengan pegawai negeri golongan I dan II.

Dikatakan, dalam pelayanan pendidikan maupun kesehatan, harus ada standar pelayanan minimumnya. "Ini bertujuan supaya tangan pelayanan dari pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan ini benar-benar menjangkau rakyat dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya, sehingga Papua di masa depan, rakyatnya semakin terdidik, cerdas dan sehat," pungkasnya. (fud)

Minggu, 01 Maret 2009

NEGERI ITU BAGI SOSIALISME

Oleh: Arkilaus Arnesius Baho

“Di persembahkan bagi usia Partai Rakyat Aceh “ PRA “ yang ke-II ”.


Bumi Serambi Mekkah, Tanah Rencong itulah Aceh. Dunia mengetahui nama Aceh, tak luput juga didalam genggaman imperium global hari ini Aceh pun di tilik dalam suatu mesin Kapitalisme Baru. Belajar dari tradisi kolonialis atas bumi Aceh, tak hanya perubahan kearah yang baik diperjuangkan, tetapi menapaki keberpihakan dunia akan rasionalitas kerakyatanlah jiwa semangat kita. Kadang begitu pahit, letih dan melelahkan dengan menuju kemakmuran yang hakiki. Negara hanyalah bayangan semu, alat taktis bagi tujuan sejatinya. Itulah ideology dasar, sumber utama penerimaan rakyat Aceh dengan begitu kokohnya saat ini Partai Rakyat Aceh menjadi jantung perubahan bagi Rakyat kecil, orang Miskin, perempuan tertindas di Tanah Aceh dan Dunia. Dalam usia muda ini, Aceh dalam keterlibatan Partai Rakyat Aceh sudah banyak kah sumbangsih perubahan?


Entah dinamika perubahan begitu klasik bagi dunia dalam menentukan tingkatan perubahan sebuah wilayah. Tetapi atraksi politik bagi rakyat Aceh ditahun ini akan Nampak roh perubahan itu berlaku dalam kandungan politik, ekonomi dan Budaya orang Aceh. Ya, Gencatan senjata, perundingan RI-GAM hingga bertumbuh secara baru Partai Politik local. Ada yang merasa dirugikan, merasa tak punya identitas politik dan kebakaran kekuasaan mereka setelah rakyat Aceh mampu berdiri dalam kaki-Nya, menatapi pentingnya keberpihakan bagi rakyat semesta dari cercaan dan rampasan hak ekonomi dan politik jajahan kaum colonial.


Diawal perhelatan nasional Partai Rakyat Aceh, Papua beri dukungan. Pidato Politik Papua itu di tutup dengan teriakan HIDUP RAKYAT ACEH, HIUDP PRA, HIDUP RAKYAT PAPUA BARAT. Dengan bangga dan terus berdiri dalam simpatisan Partai Rakyat Aceh, begitu gembira menyambut hari ini ( 03 Maret 2009 ) sebagai hari lahirnya sebuah Partai Lokal pertama di Aceh setelah bumi yang dahulu di genggam dalam periodesasi kekerasan kemanusiaan, aceh menandai kekuatan rakyat dalam hajatan kongres. Ide perubahan dengan mendirikan sebuah Partai di tengah ruang keberpihakan dunia atas penyelesaian Masalah di Aceh merupakan roh baru yang di lakukan oleh kawan-kawan pejuang di sana “Aceh”.


Kongres pertama PRA lahir. Akomodasi politik kebangsaan mewarnai jiwa dan roh pergerakan Partai. Euforia kepartaian kemudian ada dan kini membumi di Aceh. Kemunculan partai local di Aceh begitu banyak, tetapi sejarah pasti meyakinkan Partai Rakyat Aceh adalah kepeloporan pertama. Dan kader-kader PRA menuju tantangan baru, yaitu fenomena pemilu yang di selenggarakan Indonesia. Ratusan anggota PRA menuju parlemen, teori perubahan bagi rakyat dalam parlamentariat bukanlah cita-cita pokok. Tetapi kekuatan bersama adalah modal pokok yang sejati. Tidaklah larut dalam kebisingan kursi kekuasaan, tidaklah menerapkan watak borjuis dalam kursi rakyat nantinya, tetapi PRA adalah kemauan bersama demi kemerdekaan, kedaulatan dan kemajuan bagi pemenuhan sosialisme.


Tatkala pesan pidato politik Papua di depan ribuan peserta Kongres disambut dengan tepuk tangan, air mata dan kegembiraan. Itulah awal, itulah jiwa dan nurani yang terus di persembahkan bagi kemenangan bersama. Kemajuan rakyat Aceh menuju damai, Aceh sudah damai, Papua belum…pidato Politik Papua mengakhiri rangkaian pidato dalam kongres pertama PRA. Kini tibalah di hari ulang tahun yang ke dua ini, dukungan senasib dari Papua tetap kokoh bagi kejayaan PRA. Hidup PRA, jayalah sosialisme. Warnai hidup baru, membumikan jati diri kerakyatan. Kita selalu dalam garis yang sama.

HENTIKAN PEMEKARAN

Oleh Teuku Kemal Fasya
Harian Aceh, 1 Maret 2009. Kasus terbunuhnya ketua DPRD Sumatera Utara dalam demonstrasi brutal yang mengusung ide pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) adalah luka demokrasi yang tak boleh terulang lagi. Cukup dan terakhir!

Brutalisme politik massa sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Berkali-kali, dengan dalih ekspresi arus bawah, media demonstrasi digunakan untuk merusak, mengeroyok, dan membakar. Kasus Pilkada adalah yang terbanyak memberi contoh politik kekerasan. Tentu saja sikap masyarakat yang tak berseni politik ini adalah cermin para elitenya yang serakah dan sakit. Qualis rex, tali grex. Bagaimana raja seperti itulah rakyat.

Kesalahan karena regulasi Gagasan pembentukan Protap sebenarnya wacana lama yang telah basi. Pemerintah telah melihat pembentukan provinsi ini belum memenuhi standar prosedur tetap (protap) dalam UU No. 32/2004 jo PP No. 78/2007, namun sayang terlalu ragu bersikap karena takut dituduh otoriter. Gubernur Sumatera Utara yang baru terpilih juga tidak berani memainkan politik teladan, karena tidak berasal dari wilayah yang pro-pemekaran.

Padahal politik pemekaran berdasarkan PP sebelumnya (PP No. 129/2000) telah menyebabkan Indonesia negara satu-satunya di dunia yang melakukan pemekaran wilayah tercepat di dunia. Hanya dalam waktu tujuh tahun kita telah berkembang menjadi 33 provinsi dan hampir 500 kabupaten/kota. PP 78/2007 terlambat mengantisipasinya. PP 78/2007 memang memberikan persyaratan lebih kompleks bagi daerah yang ingin mekar melalui batasan minimal kabupaten atau kecamatan untuk pembentukan provinsi atau kabupaten/kota. Juga terdapat persyaratan aspirasi berdasarkan keputusan forum pertimbangan desa (FMD) dan forum komunikasi kelurahan (FKK), di samping rekomendasi dari provinsi induk dan disetujui dalam rapat paripurna DPRD.

Namun, meskipun PP 78/2007 lebih steril menerjemahkan hasrat politik pemekaran, tapi tak cukup kebal menolak virus politik menghalalkan segala cara. Suara rakyat ternyata bukan suara Tuhan, karena definisi “rakyat” di sini juga mengalami eksploitasi akut. Banyak forum rakyat atau organisasi kemasyarakatan pendukung pemekaran ternyata tidak justified sebagai representasi rakyat. Dari beberapa penelitian tentang prosedur pembentukan daerah terlihat persyaratan pembentukan daerah (administratif, teknis (potensi daerah, kemampuan ekonomi, sosial-budaya, dsb), dan syarat teknis hanya memenuhi kepentingan formal dan tidak substansial. Kebanyakan akal-akal dan paksaan.

Ditambah lagi realitas provinsi dan kabupaten/kota yang mekar tidak bisa menyaingi atau lebih baik dibandingkan provinsi dan kabupaten induk. Seruan pemerintah agar tahun 2008 menjadi tahun terakhir pemekaran hanya dianggap nasehat basi. Era sekarang adalah merebut kekuasaan. Ketika gagal pada politik utama, maka permainan dilakukan pada politik pinggiran seperti dengan isu pemekaran.

Akhirnya, meskipun rumit segala permasalahan harus dikembalikan pada hukum. Pemerintah harus tegas menolak setiap usulan pembentukan provinsi atau kabupaten/kota jika ditemukan cacat prosedur sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 78/2007. Di dunia olahraga kita mendengar slogan be fair play, politik seharusnya pun berlaku demikian. Kesempurnaan hanya dihasilkan oleh praktik dan pemerintah harus berani bersikap agar raja-raja kecil tidak semakin melonjak kegirangan. Hal lainnya adalah merealisasikan PP tentang evaluasi kinerja pemerintahan daerah untuk menilai proyek pemekaran berlangsung selama ini telah menuai hasil positif atau tidak. Jika nilai rapor pemekaran jeblok maka daerah mekar harus dikembalikan ke daerah induk atau dihapuskan, tanpa tedeng aling-aling.

Politik Memainkan Mitos

Ide pembentukan Provinsi Tapanuli berangkat dari imajinasi keresidenan Tapanuli yang dibentuk pada masa kolonial Belanda, 1910. Keresidenan ini memiliki empat Afdeling (atau kabupaten/kota) yaitu Padang Sidempuan, Nias, Sibolga, dan Bataklanden. Pembentukan keresidenan Tapanuli adalah wujud untuk menyatukan “sub-sub etnik” di daerah Tapanuli yang disebut Batak ini dalam sebuah batas administratif dan demografis, sekaligus mengisolasi dengan kultur lain yaitu Melayu, Alas, dan Minang.

Namun secara historis Tapanuli bukanlah satu entitas. Sudah lama terjadi “konflik”, antara orang-orang Batak dari utara dan selatan. Konflik ini memuncak pada tahun 1930-an ketika pemerintah berencana membentuk satu komunitas kelompok (groopgemeenschap) untuk semua orang Batak di wilayah keresidenan Tapanuli. Batak utara, diwakili oleh Toba, sedangkan Batak selatan terbagi dua: Angkola, Sipirok, dan Padanglawas mendukung Toba sedangkan Mandailing menolak sama sekali.

Di Medan, orang-orang Mandailing tidak mau disebut sebagai Batak. Mereka mengatakan bukan Batak. Pada tahun 1920-an, orang-orang Mandailing bahkan menolak menguburkan seorang Batak yang berasal dari Sipirok dalam pemakaman karena yang meninggal masih memegang identitas kebatakannya (Limantina Sihaloho, 2004).

Berangkat dari sejarah kolonial ini terlihat pembentukan Provinsi Tapanuli adalah warisan primordialisme Belanda, devide et impera, yang sebenarnya berhasil dilunturkan melalui pembentukan provinsi Sumatera Utara. Provinsi Sumut adalah jawaban yang paling tepat bagi konfigurasi kerukunan etnis dan agama untuk wilayah ini. Bukan hanya bagi etnis tempatan (Batak dan Melayu), tapi juga etnis pendatang (Jawa, Tamil, China, Aceh, dan Minangkabau). Aceh pernah menjadi bagian dari provinsi ini (Sumatera Timur) di masa Orde Lama. Eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdiri pada azas sekularisme dan pluralisme dapat dilihat di Sumatera Utara. Agama dan marga boleh beda, tapi ketika berhubungan dengan orang luar dengan lugas disahut: saya anak Medan, Bung! Medan memang menjadi simbol politik dan budaya bagi seluruh perkauman dan agama Sumatera Utara.

Makanya agak aneh jika mitos Residen Tapanuli masih dibangkitkan dalam ruh Provinsi Tapanuli, apalagi ketika banyak Afdeling (kabupaten/kota) dan Onder Afdeling (wilayah) bentuk Belanda itu tidak bersepakat dengan provinsi ini. Kabar terakhir Tapanuli Tengah dan Dairi pun telah keluar dari kesepakatan. Aziz Angkat yang meninggal bermarga Pakpak yang secara administratif berada di kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat.
Sudah saatnya politik dibersihkan dari mitos negatif. Saatnyalah menyelamatkan Sumatera Utara dari perpecahan dan kebangkrutan. Ini juga selaras dengan semboyan SBY untuk menghentikan politik pemekaran yang merugikan bangsa dan negara dan tidak bersendikan kesejahteraan sosial.

Bagi Aceh inilah saat untuk merefleksikan kembali tentang politik pemekaran yang sebenarnya tidak berangkat dari kepentingan demokrasi kecuali hanya berdiri di papan nama rakyat. Oligarkhi bukan demokrasi dan kepentingan rakyat tak berjalan dalam keriuhan dan caci-maki tapi dalam santun dan tenang. Dengan hati-hati menyuling pendapat rakyat agar tidak menjadi suara sumbang.

Aceh sekali, berarti, sampai mati!

Kemal Fasya Adalah Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Aceh. Sedang kursus bahasa Jerman di German Malaysian Institute.