Kamis, 26 Februari 2009

Mitos Neososialisme

Mario Rustan

Dua pekan lalu halaman Opini ini memuat tiga artikel mengenai neososialisme. Ada tiga sebab mengapa neososialisme, paling tidak menurut interpretasi para penulis itu, cukup populer di Kompas.

Penyebab pertama adalah populernya ideologi kiri populis dalam politik Amerika Latin (kawasan yang menarik bagi kaum kiri Katolik di Indonesia), terutama pemerintahan Venezuela, Brasil, dan Bolivia. Alasan kedua adalah kaitan historis antara sosialisme dan pemikiran Katolik di Indonesia. Alasan ketiga, dan ini cukup mengkhawatirkan, adalah logika ”musuh dari musuhku adalah kawanku”.

Ketidaksukaan sebagian intelektual kiri Indonesia kepada Barat dan kaum menengah ke atas Indonesia berakibat pada kekaguman mereka kepada rezim otoriter di Rusia, China, Iran, dan Amerika Latin. Jelas hanya Venezuela dan Bolivia yang bisa disebut sebagai negara penganut neososialisme.

Keadaan sebenarnya

Namun, istilah itu sendiri salah. Baik Venezuela maupun Bolivia secara resmi menyebut ideologi mereka: Bolivarianisme. Istilah itu mengacu pada pejuang kemerdekaan Amerika Selatan Simon Bolivar, yang praktis berarti ”kontrol kuat negara yang dianggap mewakili kaum pribumi”. Baik Hugo Chavez maupun Evo Morales gemar menebar cerita bahwa masyarakat mereka dikepung kekuatan jahat pimpinan Amerika dan pemodal kulit putih yang tak rela kekuasaannya diambil alih. Di permukaan, kebijakan mereka sangat menguntungkan kaum miskin dan mereka dekat dengan rakyat.

Keadaan sebenarnya di sana—paling tidak di Venezuela— berbeda. Hugo Chavez adalah seorang diktator yang ingin menjadi presiden seumur hidup. Pasukan pendukungnya dan militer gemar mengintimidasi dan menyerang media yang dianggap melawan. Banyak program pembangunan berupa janji belaka. Kemiskinan dan pengangguran merajalela di Venezuela. Chavez hanya bisa menyalahkan Amerika dan menghabiskan anggaran belanja militer.

Istilah neososialisme muncul di Perancis dan Belgia saat Depresi Besar mulai. Pendukung demokrasi sejati tak akan setuju dengan neososialisme ala Marcel Deat, yang mendukung kediktatoran. Marcel Deat dan kawan-kawan diusir dari forum Internasional Kedua Kaum Komunis karena dukungan mereka pada fasisme. Dukungan neososialisme pada fasisisme dibuktikan saat Perancis diduduki selama Perang Dunia II. Hasilnya, setelah 1945 paham ini dianggap jahat, bahkan oleh sosialis Perancis.

Jalan ketiga

Bagaimana dengan neososialisme yang lain, atau Jalan Ketiga, yang sudah diusulkan pastor-pastor di Indonesia sejak 1980-an? Newsweek bulan ini mengumumkan ”Kita semua sekarang adalah sosialis” dalam menanggapi resesi dunia. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi dan perdagangan kembali berjalan di Amerika dan Australia, negara yang beberapa tahun lalu sering disebut sebagai pentolan neoliberalisme. Jalan Ketiga, yang dulu dijalankan oleh Bill Clinton dan Tony Blair, menghendaki kerja sama, bukan pengunduran diri dan permusuhan.

Daripada jauh-jauh menengok ke belahan dunia lain, tengoklah kawasan kita, Asia. Apabila kita selalu bertanya mengapa Vietnam sudah mendekati pencapaian Indonesia, mengapa Thailand dan Malaysia tetap dikenal walau politiknya sedang kacau, dan orang Indonesia senang ke Singapura, jawabannya jelas. Mereka mementingkan Asia lebih dulu, Pasifik berikutnya, kawasan-kawasan lain setelah itu.

Apa pun bentuk pemerintahan dan ideologi mereka, yang penting ekonomi harus selalu berjalan dan informasi tentang tetangga harus selalu aktual. Setelah melihat hasilnya, apakah kita tidak merasa ketinggalan zaman bila masih memikirkan ”neososialisme” gaya Venezuela, apalagi ada pilihan Jalan Ketiga?


Tidak ada komentar: