Sabtu, 07 Februari 2009

Freeport, Akar Separatisme Negara

Oleh: Arkilaus Arnesius Baho

Banyak kalangan menilai perusahaan asal Amerika yang sudah menguras kekayaan alam di Papua ini tidak hanya menimbulkan kelalaian kontrol tetapi juga memicu semangat perlawanan rakyat akibat ekspansi neoliberal. Puluhan tahun pula selama di Papua, Freeport menyumbang belenggu ketidakadilan dan penjarahan hak politik, ekonomi dan kedaulatan negara. Dimana sistem Undang-undang pengontrol investasi jadi amburadul, dan bagi rakyat Papua sumbangsih Freeport terkait integrasi Papua menuai ketidakadilan dan menjemput anarkisme demokrasi.

Pendudukan Freeport di Papua meletakkan peradaban baru; status Papua secara politik beralih dalam pangkuan RI pasca seruan trikora tahun 1963. Investasi asing terus membanjiri bumi Indonesia pasca negosiasi produk hukum lunak ( UUPMA satu/1967) bagi pengelolaan aset ekonomi bangsa. Jadilah kenyataan, 80 persen aset tambang di Indonesia di kuasai asing dari segala sektor strategis pengelolaan hasil alam di nusantara ini.

Phobia negara-negara berkembang terus menyatukan globalisasi dengan kesejahteraan rakyat sudah dilakukan pasca isu-isu gelobalisasi menjamur di dunia. Indonesia menjadi negara berkembang di Asia Tenggara yang punya nilai lebih secara ekonomis dan suprastruktur rakyat sebagai benteng reformis bagi melunaknya keberpihakan negara atau pemerintah mendukung hegemoni imperialis.

Sudah 37 ribu lebih saham milik Perusahaan Trans Nasional ( TNC ) untuk mata rantai ekonomi dalam negeri dan dunia. Dimana 21 perusahaan negara di dunia pendukung investasi operasi tambang bagi PT. Freeport Indonesia. Dan 150 ribu anak perusahaan di dunia yang punya hubungan produksi dibawah payung eksplorasi tambang milik freeport pusat di Amerika. Skala operasi terbesar Freeport di dunia adalah di Papua " Tembagapura " dengan cadangan emas, batubara dan merkuri begitu banyak.

Bagaimana keuntungannya bagi kelangsungan hidup bagi negara..?. Nilai lebih adalah tujuan investasi dalam segala hal. Transparansi keuangan Freeport secara rutin di publikasikan dekade tahun 2005 sampai sekarang. Kewajiban Freeport di tahun 2007 saja, mencapai 2,9 Triliun Untuk Jakarta, 33 Milyar Buat Timika. Jika rata-rata penghasilan Freeport mencapai satu trilyun per tahu, maka sudah ada devisa puluhan trilyun bagi negara.

Dengan stigma kesejahteraan rakyat dari ekonomi bangsa, tatkala sampai sekarang PT. FREEPORT INDONESIA, Operasi : 1967 – sekarang Luas Konsesi 2,6 juta ha, termasuk 119.435 ha hutan lindung dan 1,7 juta ha kawasan konservasi. Akankah pulau Papua semakin sempit? tidak, fisik pulau begitu luas, tetapi habitat alam dan mahluk hidup menjadi rentan dari sapuan penanam saham ini. Tatkala gunung gresberg terus dibuat teriwongan dan gailan lubang besar-besar nyatanya...Pemerintah Indonesia mewakili ratusan juta penduduk punya utang luar negeri sebesar 61.81 Milyar USD yang harus di keluarkan dari kas APBN negara. Angka ini semakin memprihatinkan bagi keberpihakan negara akan keberpihakan bagi lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi.

Akankah efisien dengan kekuatan ekonomi negara bagi kebutuhan hidup warga negara ditengah krisis ekonomi dunia suatu masalah krusial sekarang. inilah fakta, kemandirian bangsa dipertanyakan sejauhmana kemungkinan keberhasilan bagi kesejahteraan rakyat di dalam ruang kepungan globalisasi saat ini.

Pemutusan hubungan kerja ribuan pegawai perusahaan, dibarengi dengan pembentukan daerah pemekaran baru, akankah solutif bagi penanganan pengangguran?. Stimulus eksploitasi tambang sejak masuknya Freeport, merambat kedalam keberpihakan ruang negara begitu besar bagi keberlangsungan investasi ketimbang negara memberi ruang bagi kemandirian bangsa dalam segala hal. Undang-undang tata ruang melegitimasi penggusuran dimana-mana dan keyakinan bagi Freeport untuk menerapkan sistem security di areal penambangannya. Anehnya, security Freeport ( proteksi ) untuk tidak berada di areal tambang saja lebih ketat. Memasuki wilayah Freeport harus mengantongi 12 ijin resmi. Memalukan sekali dimana undang-undang investasi asing justeru memberi kemudahan bagi segenap investasi asing di Indonesia. terbalik bukan?

Realitas negara tidak berpihak kepada kemandirian bangsa inilah, separatisme negara terus menjarah aset rakyat, dan merombak kedaulatan bangsa. separatisme negara sangat mungkin merekonstruksi kemiskinan permanen, tetapi keberadaan kelompok separatis negara ini malah di lindungi negara dan negara memenjarakan rakyatnya yang tidak sepakat dengan separatis negara.

Papua titik penting dalam sejarah keterpurukan bangsa Indonesia. Ia, gara-gara Freeport masuk di Papua, UU PMA di teken penguasa Jakarta sebagai fondasi utama bagi meningginya kelompok separatis negara. Dan gara-gara tuntutan Papua merdeka juga, Otonomi Khusus dan Otonomi daerah di berlakukan dengan stimulus era reformasi. Belumlah kemajuan didapat, demokrasi tidak begitu utama, hak asasi manusia dan ekologi bukanlah ideologi utama bagi para penyelesanggaraan negara yang saya sebut" SEPARATISME NEGARA " dimana PT. Freeport adalah otak dibalik bertumbuhnya benih-benih penghiatan terhadap kedaulatan rakyat Indonesia khususnya rakyat di Papua bagian Barat ( Sorong-Samarai ).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Benar sekali bung Arki...
"Dimana ada komoditas, dimana ada eksploitasi, maka di situ akan ada penindasan".

Mengacu pada sifat dasar manusia, yaitu melawan ketika nasib hidupnya terancam. Ibaratnya, "cacing ketika terinjak, maka ia akan menggeliat". Cacing yang sedemikian kecil, tak punya taring ketika terinjak ia akan menggeliat dan menggeliatnya cacing adalah wujud perlawanan bagi si cacing. Sama halnya dengan manusia dan makhluk hidup lainnya, akan melawan ketika terancam. Demikian halnya dengan masyarakat Papua bagian barat yang selalu memanas karena seringnya terjadi konflik-konflik dengan militer.

Ketika saya mengikuti diskusi mengenai Freeport bersama kawan-kawan Papua di Jogja, baik itu yang tergabung dalam AMP atau organisasi Papua yang lain, sangat jelas tergambar bagaimana kondisi sebenarnya.

Papua punya sejarah, adat dan budaya. Itu semua menjadi bagian dari proses pembangunan diri karakter sumber daya manusia di Papua, tetapi proses itu berkali-kali terganggu dengan masuknya modal yang ekploitatif.

Modal eksploitatif inilah yang menjadikan Papua, khususnya bagian Mimika menjadi termiskinkan, termiskinkan dalam segala hal.

Pemiskinan menjadi sebab terjadinya perlawanan. Akan tetapi sekali lagi, rezim dengan alat militernya menge-cap masyarakat yang melawan itu dengan gelar istimewa yaitu "sparatis". Dan benar sekali kalau tindakan sparatis itu tercipta karena modal itu sendiri.

Sangat berat memang, ketika kita harus berjuang dengan gelar sparatis. Dengan gelar ini militer tidak segan-segan untuk menganiaya bahkan kalau perlu mereka akan membunuh. Bagi militer, darah sparatis adalah halal untuk ditumpahkan.

"Jangan surutkan perjuangan kawan-kawan..!!!"

Fajar Pudiarna mengatakan...

Benar sekali bung Arki...
"Dimana ada komoditas, dimana ada eksploitasi, maka di situ akan ada penindasan".

Mengacu pada sifat dasar manusia, yaitu melawan ketika nasib hidupnya terancam. Ibaratnya, "cacing ketika terinjak, maka ia akan menggeliat". Cacing yang sedemikian kecil, tak punya taring ketika terinjak ia akan menggeliat dan menggeliatnya cacing adalah wujud perlawanan bagi si cacing. Sama halnya dengan manusia dan makhluk hidup lainnya, akan melawan ketika terancam. Demikian halnya dengan masyarakat Papua bagian barat yang selalu memanas karena seringnya terjadi konflik-konflik dengan militer.

Ketika saya mengikuti diskusi mengenai Freeport bersama kawan-kawan Papua di Jogja, baik itu yang tergabung dalam AMP atau organisasi Papua yang lain, sangat jelas tergambar bagaimana kondisi sebenarnya.

Papua punya sejarah, adat dan budaya. Itu semua menjadi bagian dari proses pembangunan diri karakter sumber daya manusia di Papua, tetapi proses itu berkali-kali terganggu dengan masuknya modal yang ekploitatif.

Modal eksploitatif inilah yang menjadikan Papua, khususnya bagian Mimika menjadi termiskinkan, termiskinkan dalam segala hal.

Pemiskinan menjadi sebab terjadinya perlawanan. Akan tetapi sekali lagi, rezim dengan alat militernya menge-cap masyarakat yang melawan itu dengan gelar istimewa yaitu "sparatis". Dan benar sekali kalau tindakan sparatis itu tercipta karena modal itu sendiri.

Sangat berat memang, ketika kita harus berjuang dengan gelar sparatis. Dengan gelar ini militer tidak segan-segan untuk menganiaya bahkan kalau perlu mereka akan membunuh. Bagi militer, darah sparatis adalah halal untuk ditumpahkan.

"Jangan surutkan perjuangan kawan-kawan..!!!"