Kamis, 29 Januari 2009

Wajah Indonesia di Papua

Yogyakarta-(Deskpapuabarat.pos)-Selain gedung-gedung pencakar langit, yang mengesankan bagi Amandus Iyai tentang Jakarta adalah satpam. Ke mana saja ia berkeliling Jakarta, yang banyak ditemuinya tengah berjaga-jaga adalah petugas satpam.

Padahal dari berita, saya dengar di Jakarta banyak ancaman bom, tetapi di gedung-gedung dan pasar yang menjaga petugas satpam,” kata Amandus Iyai, tokoh adat Bomomani, Kabupaten Dogiai.

Itu berbeda dengan yang dilihatnya di Papua. ”Di Papua tak ada ancaman bom, tetapi di mana-mana ada Brimob dan TNI,” ujar Amandus Iyai.
Bahkan di pedalaman, menurutnya, jauh lebih mudah menemukan polisi dan tentara daripada dokter, perawat, atau guru. Meskipun kehadiran mereka di tengah-tengah warga tidak lagi segarang sembilan tahun lalu, keberadaan mereka kerap mengundang pertanyaan warga, untuk apa? Di pedalaman seperti Paniai, selain komando rayon militer dan kepolisian sektor, ada satu kompi Brimob dan tim khusus dari Batalyon 753 Arvita.

Tak hanya itu, Ketua Dewan Adat setempat, John Gobay, mengatakan, ada pula satuan-satuan lain beroperasi di kawasan itu. ”Bahkan pernah pagi-pagi saya didatangi orang. Ia menjabat tangan saya dan mengatakan, ’Saya dari BIN’,” kata John Gobay sambil tersenyum.

Di Kabupaten Mimika tempat PT Freeport Indonesia beroperasi, kehadiran aparat keamanan lebih mencolok. Selain satuan Brimob, ada tiga markas infanteri menjelang Pelabuhan di Paumako.

Ada pula satuan berlapis baja serta satuan tugas dari Detasemen Khusus 88 Antiteror. Bisa jadi kehadiran mereka terkait dengan pengamanan obyek vital nasional, yaitu PT Freeport Indonesia. Namun, hal tersebut mengundang pertanyaan karena dinilai berlebihan. ”Ada apa?” tanya Uskup Timika Mgr John Philip Saklil.

Itu mengesankan perusahaan tambang tersebut identik dengan militer, selain gambaran buruk tentang militer itu sendiri. Saat melihat panser-panser tersbeut berkeliling, kegusaran Uskup Timika itu bertambah. ”Situasi tidak aman justru terkesan diciptakan,” katanya.

Wajah ketakutan

Bagi masyarakat Papua, pengalaman buruk akibat perilaku militer pada masa lalu belum pulih benar. Di pedalaman, masyarakat masih lekat dengan kisah satuan Rajawali serta Tim Khusus. Di Waghete, misalnya, ingatan tentang bagaimana tentara dari satuan itu berjaga-jaga dengan senjata lengkap di pasar masih cukup kuat.

Lahirnya reformasi yang membuka ruang besar bagi lahirnya demokrasi pun dialami buruk oleh masyarakat Papua. Penculikan dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys H Eluay mengorek luka lama tersebut.

Kondisi itu menambah panjang keprihatinan masyarakat Papua. Keindonesiaan, selain dialami orang Papua dalam bentuk kedatangan migran dari luar Papua yang sedemikian masif dan marjinalisasi penduduk asli, di pedalaman juga dialami sebagai minimnya pelayanan publik.

Keindonesiaan juga dialami dalam kekerasan terhadap penduduk sipil serta pengambilalihan tanah dan eksploitasi sumber daya alam tanpa diimbangi oleh kompensasi berupa kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk setempat.

Keindonesiaan secara subyektif ditempatkan sebagai oposisi dari kepapuaan, yakni segala sesuatu yang menindas dan merugikan kepentingan dan identitas orang asli Papua (Tim LIPI, Papua Road Map).

Antropolog, yang juga Ketua STFT Fajar Timur, Neles Tebay, mengatakan, kehadiran yang sedemikian juga merepresentasikan ketakutan Jakarta atas aksi keprihatinan orang Papua. Keprihatinan yang dimaksud Neles Tebay terkait penghormatan atas harga diri dan martabat orang Papua, penghormatan terhadap hak hidup serta kesejahteraan.

Pendekatan seperti ”Operasi Koteka” dulu menjadi contoh betapa kepapuaan dianggap sebagai keterbelakangan. Hal itu tentu menimbulkan luka batin bagi masyarakat Papua yang secara kultural juga memiliki sistem budaya sendiri yang layak dihormati dan dikembangkan.

Undang-Undang Otsus

Luka batin yang dialami oleh masyarakat Papua pada masa lalu, menurut peneliti CSIS J Kristiadi, sebenarnya diakui pemerintah dan coba dijawab, salah satunya dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Di dalam undang-undang itu, tutur Kristiadi, berbagai hak khusus di bidang ekonomi, politik, dan budaya serta peningkatan percepatan pembangunan diakomodasi. Namun, hingga memasuki tahun kesembilan persoalan-persoalan mendasar di Papua itu belum sepenuhnya terjawab.

Meskipun pembangunan fisik seperti sekolah dan puskesmas berkembang, kualitasnya masih jauh dari harapan. Pemberdayaan ekonomi rakyat tampak masih berjalan di tempat.

Kristiadi berpendapat, faktor utama dari ketidakefektifan implementasi otsus di Papua disebabkan oleh belum adanya kesalingpercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua. Menurutnya, pada satu sisi, pemerintah pusat khawatir bahwa UU itu menjadi batu loncatan bagi Papua untuk merdeka. Pada sisi lain, masyarakat Papua curiga, otsus sekadar janji pemerintah, jarang ditepati.

Dan faktanya, baru dua tahun otsus berjalan, pemerintah pusat merestui pembentukan provinsi baru, Irian Jaya Barat. Langkah politik itu tidak hanya menunjukkan inkonsistensi pemerintah serta tidak ramah terhadap situasi dan pikiran orang asli Papua (Tim LIPI, Papua Road Map).

Represi

Akan tetapi, ekspresi keprihatinan atas itu, menurut Neles Tebay, justru ditanggapi sebagai aksi separatisme. Yang oleh Indonesianis, Sidney Jones, dianggap sebagai reaksi berlebihan dari pemerintah. Padahal, jumlah mereka yang secara ideologis ingin merdeka sangat kecil. ”Sebagian besar masyarakat Papua justru merasa sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri,” kata Sidney Jones.

Keresahan akibat perlakuan yang tidak semestinya itulah yang menurutnya harus dijawab. Pemerintah daerah yang dinilainya kerap absen dan korup juga harus bertanggung jawab.

Persoalan yang sesungguhnya terkait dengan humanitas, jaminan hidup, dan eksistensi orang Papua itu, bagi Neles Tebay tidak mungkin dijawab dengan kekerasan senjata atau menangkapi mereka yang mengibarkan bendera. Selain makin mengentalkan ide kemerdekaan, langkah tersebut sesungguhnya sama sekali tidak menjawab persoalan.

Ia memuji langkah positif Presiden Abdurrahman Wahid yang meletakkan bendera Bintang Kejora dan lagu ”Hai Tanahku Papua” sebagai simbol budaya. Proses desakralisasi simbol itu merupakan upaya awal yang tepat untuk mempertemukan kepapuaan dengan keindonesiaan. ”Orang bisa mengungkapkan ekspresi mereka, tetapi dengan tetap memegang kesepakatan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Neles Tebay.

Hanya saja, langkah cerdas Presiden Abdurrahman Wahid itu tidak dilanjutkan oleh para penerusnya. Bahkan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. ”Menjadi aneh, kan, jika persoalan diskriminasi dijawab dengan menangkap orang yang mengibarkan bendera,” kata Neles Tebay menambahkan.

Sikap keras pemerintah seperti itu tentu tidak akan membuat para pemuda Papua menjadi bangga sebagai bagian dari Indonesia. Ketika mereka tidak pernah mendapat jawaban jujur atas persoalan Papua dari pemerintah, tetapi justru memperoleh jawaban dari sumber-sumber lain, membuat perlakuan-perlakuan yang mereka alami selama ini, ketika menyuarakan keprihatinan tentang Papua, menguatkan pendapat mereka bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh berpihak kepada Papua.

Mengubah cara pendekatan dinilai para pengamat sebagai cara yang tepat. Sikap curiga perlu disudahi. Caranya, membuka dialog dan membangun keberpihakan dan perlindungan bagi orang Papua. Selain itu, konsistensi otsus serta rekonsiliasi.

Oleh : B Josie Susilo Hardianto

Sumber :cetak Kompas

Tidak ada komentar: