Timika memang sarangnya konflik dan adalah bom waktu konflik sebagai barometer dalam mengukur hari ini kegagalan negara menyatakan keberpihakan atas rakyat yang menginginkan kedamaian dan ketentraman. Kekuatan negara, bila di Timika tak sebanding kekuatan Perusahaan Freeport, dan inilah lagu lama bahwa tambang menjajah negara adalah benar.
Sayangnya, konflik saat ini justeru menyambung dengan rentetan konflik yang terjadi baru baru ini dan menganga di wilayah lainnya. Resolusi konflik hingga pendekatan hukum dan keamanan seakan mandul dan tak lagi bertaring menyelesaikan konflik. Konflik berkepanjangan ini adalah akumulasi keterlibatan komponen innternasional yang terus saja menyatakan keberpihakan terkait keberadaan tambang milik asing di daerah ini, mengakibatkan rakyat sipil menjadi ladang adu domba dan sabotase kepentingan elite.
Padahal, elite
Pemilu menjadi tak berarti jika pembiaran konflik terus matang. Populisme tak ada gunanya meninggalkan keterpurukan. Retorika kampanye dan semangat anti Golput justeru salah kaprah, menjerumuskan rakyat dalam adu domba bukanlah pilihan sejatinya memperjangkan kedaulatan rakyat. Tatkala kedamaian akan berakhir, dengan hegemoni militeristik hengkang di Tanah ini dan sejuta harapan damai adalah bagian hidup yang kami minta.
Desk Papua Barat, menduga persaingan basis antara elit Militer dan Sayap nasionalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar