Selasa, 27 Januari 2009

GOLPUT, ANTI PERUBAHAN?

Desk Papua Barat Pos-Pemilu 2009 sudah diambang pelaksanaan yang tak juga lepas begitu saja dengan fenomena golput. Keinginan meraih suara terbanyak pun adalah mimpi bagi sejumlah elemen rakyat yang hendak memiliki kepentingan begitu besar akan kancah pangung politik nasional dan daerah. Jargon perubahan kemudian diusung dengan berbagai sisi pemaparan visi dan misi. Iklan dan poster bertaburan terpajang di layar TV dan siaran Radio bahkan di sudut jalan seakan pemandangan kota dan kampung merebak.

Retorika pun di jumpai dalam berbagai tulisan yang terpampang.
Ribuan anak Bangsa berlomba menapaki arus perubahan. Kadang yang paling hebat iklannya adalah mereka yang punya dukungan modal kuat. Bayangkan, poster berukuran 3x4 aja harganya sudah rata-rata ratusan ribu belum lagi berapa jumlah poster yang dipakai. Arena transaksi pasar kemudian merebak, kantong-kantong dana terbuka dan mengalir begitu saja.

Ketika tayangan iklan begitu gencar-gencar di TV dan Radio dengan bayaran mahal, toh yang menonton dan mendengarkan adalah kaum miskin yang terus saja mengais rejeki di pinggir jalan jalan utama. Dibenaknya, ratusan juta ludes habis semata di layar TV. Secara tidak langsung, kesenjangan sosial dan ekonomi pun belum teratasi diera kampaye, apalagi kelak berhasil. Segudang utang membayangi kader-kader rakyat.

Kemajuan demokrasi dan keberpihakan terhadap rakyat belum ada dalam ruang pemilu bila karakter mem-populiskan diri dan kelompok menjadi tujuan utama di era kampanye ini. Perubahan yang diharapkan menjadi sirna, akibat hakikat menerawang akan perubahan tidak kemudian menjadi pacu semangat jelang pesat demokrasi.

Golongan putih yang tidak punya pilihan apa-apa dalam pemilu, mereka menjadi warga negara yang tidak punya komitmen bahwa perubahan terjadi dalam era pemilu, dan perubahan terus saja diraih apabila mentalistas rakyat bertaring dalam mendorong kebutuhan pemenuhan rakyat. Pesona golput pun menjadi tren terkini yang ganungnya santer kemana-mana dan menakutkan kelompok yang punya keyakinan akan kelangsungan pemilu. Gusdur, tokoh Bangsa ini punya unek-unek terkait golput. Yah, akibat internalisasi PKB tidak termaktup dalam pemilu mengakibatkan suara golput pun tak di indahkan.

Perubahan dalam pemilu belum maksimal. Rombongan penguasa hasil pemilu yang telah ada nyatanya mengakumulasi kebijakan menindas dan menyatukan populisme akan keberhasilannya. Padahal, jika ada perubahan ditengah masyarakat, biarkan masayarakatlah yang menunjukan nya. Karena tidak ada reaksi perubahan rakyat, reklame iklan kampanye pun buru-buru di seting keberadaan orang yang telah mengalami perubahan.

Keyakinan golput benar-benar terjadi. Adalah hak asasi penduduk yang tidak juga percaya akan gerbong yang sudah terbukti gagal. Dan golput pun tertap meningkat dibarengi dengan birokrasi hak memilih yang tak benar. Bayangkan, warga asing yang mendata dirinya tinggal sementara maupun imigran harus memiliki berlapis persyaratan guna punya hak memilih. Agen-agen pemilu menjadi rentan golput-nya, dan hal golput adalah lumrah dan tak bisa di bendung. Kebutuhan suprastrtuktur birokrasi hingga kesadaran rakyat akan pentingnya pemilu adalah keharusan sekarang yang harus dilakukan oleh agen-agen pemilu. Tetapi, disuatu waktu, kesadaran pentingnya pemilu akan matang dibarengi dengan terakomodasinya sejumlah keberpihakan terhadap nasib rakyat. Rakyat menjadi golput, sama dengan sistem hari ini tidak benar.

Oleh : Ketua Umum .Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Arkilaus Baho

Tidak ada komentar: