Tiga hal yang krusial dan menyatukan beragam pandangan berbeda dalam sikap terkini bagi pilihan rakyat di Tanah Papua terus menyatakan keberpihakan atas ketidakadilan yang terus dialami tanpa sebuah perubahan positif. Kenyataan pahit diantaranya diawali dengan masuknya Perusahaan Amerika yang ter-jebloskan oleh Rezim Otoriter Orde Baru diawal tahun 1967 sampai sekarang belum terasakan keadilan atas kehadiran PT. Freeport Indonesia. Rantai kemiskinan, Pemblokiran hak-hak masyarakat Papua dalam kebebasan dan kemerdekaan secara politik dan kekuasaan atas tanah tak lagi seperti dahulu sebelum masuknya FI. Konflik berkepanjangan menjadi barometer terkini, Timika adalah salah satu
Tragis, rasa ketidakadilan orang Papua yang telah terkoyak akibat ekspansi multinasional kooporat Amerika, kemudian belum juga menemui rasa keadilan dan kedamaian, kini tuntutan kebebasan rakyat Papua diperhadapkan lagi dengan BOM waktu pemusnahan peradaban Orang Papua. Ya, Delapan Tahun perjuangan menjalankan Otsus di Tanah Papua tatkala menyuburkan praktek ketertindasan pasar ( kapital ) atas suprastruktur peradaban orang Papua yang telah hidup sejak leluhurnya. Bayangkan, keberpihakan Otsus sudah faktanya meniadakan elemen roh Bangsa Papua dan Otsus Papua menyelenggarakan sistem pasar modern. Suatu keniscayaan murahan yang terus dianggap sebagai bentuk solusi mengatasi ketertinggalan orang Papua. Wacana Otsus bagi putra Papua hanlah sentimen murahan yang tak dapat dibuktikan. Adalah pembunuhan ruang kebebasan orang Papua murni praktek-praktek otsus selama ini. Peradaban Papua terus dihancurkan “terpukul mundur” oleh sabotase keberpihakan birokrasi
Begitu juga, partisipatif rakyat Papua sejak di caplok kedalam Negara Kesatuan Republik
Kini, membanjirnya partai baru-bercokol dengan partai lama, pemimpin baru-ber-onani kebijakan dengan pemimpin lama, semua bersandiwara atas penyelesaian Papua dan demokrasi di
Wilayah Baru hanya urus Pemekaran Birokrasi
Berdasar hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Program (UNDP) yang dirilis Juli 2008 menunjukkan kegagalan pemekaran. Sebab, daerah-daerah hasil pemekaran tidak bisa berkembang, sebagaimana daerah induknya. Riset itu dilakukan terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota di Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di daerah.
Kenyataannya, pertimbangan pemekaran sekarang menjadi bukan pertimbangan pelayanan publik atau pemerataan pembangunan, tetapi kepentingan para pemodal yang kemudian menggerakkan elite nasional dan elite lokal. Sebanyak 12 UU baru ditelurkan dalam sidang paripurna. Pada tahun ini, total telah terjadi pembentukan 30 daerah baru. Dua
Pemekaran paling banyak terjadi di Papua. Selama 2008 telah lahir delapan daerah baru. Disusul Sumatera Utara sebanyak
Konsekuensi pemekaran dengan mengutamakan pelebaran birokrasi ketimbang mengutamakan kebijakan pasti atas masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi rakyat adalah membenarkan adanya infiltrasi kolonialis baru bernama pemekaran. Peradaban Papua yang terang dan bertabat diharapkan mampu di majukan dan peradaban Globalisasi nyata saat ini agar tidak kemudian membiarkan kebijakan globalisasi meniadakan identitas pribumi dan melegalkan hubungan multi-kapital semata. Jika demikian, politik kesejahteraan dan kemandirian Bangsa hanyalah jargon.
Rekayasa Suaka 43 Warga bukti kemenangan Imperialis
Kebebasan orang Papua sudah menjadi cita-cita berbagai elemen Bangsa. Cita-cita dan semangat mendorong dinamika demokrasi di Papua nyatanya terus diperhadapkan dalam agen pemukulan dan penguburan gerakan rakyat semesta. Ranting kemerdekaan universal juga bernama Papua Barat, maka tidaklah manusiawi, gerakan Papua Merdeka menjadi pilihan luar yang dapat di dorong secara baik. Mengakibatkan sejumlah suprastruktur rakyat Papua hanya rapuh dalam tatanan dan semangat keberpihakan akan kemerdekaan rakyat.
Indonesia, salah satu Negara Islam terbesar di Asia Tenggara secara institusional “ belum ada UU “ telah melancarkan gerakan mendukung pentingnya kemerdekaan bagi rakyat Palestine. Tetapi gerakan Papua Merdeka dalam Negara
Eksplorasi imperialis Internasional dan
Kalangan radikalis Papua kadang salah kaprah. Cita-cita mengedepankan identitas orang Papua tetapi kemudian menutup dada atas kebingisan kaum kolonialis nyata di Papua. Bicara entitas Papua, tetapi komitmen menuntaskan kasus
Imperialisme atas Papua adalah baying-bayang menakutkan dan menggetarkan publik. Demokrasi dicaplok, gerakan dibunuh dengan pengalihan isu dan provokasi merdeka yang tak beralasan. Perjuangan menempatkan Perusahaan
Rekayasa menakjubkan adalah, Suaka politik 43 Warga Papua. Orang Papua ini diperalat Kapitalis
Agen anti demokrasi, mereka berjya dalam suprastruktur kolonialisme
Broker demokrasi dan kemerdekaan di Tanah Papua berada dalam garis melakukan sejumlah agenda provokatif saja, usaha-usaha menyatakan kemerdekaan dengan landasan suprstruktur rapuh. Budaya meng-kanalisasi Papua bebas dari penjajahan sudah mulai matang. Demokrasi hanya jargon…Kemerdekaan hanyalah ilusi dan persatuan menjadi gelora gerakan yang tak punya ilham kemerdekaan sejati.
Pernyataan demokrasi harus dibarengi dengan sikap dan mentalitas yang kokoh. Kerapuhan kemerdekaan berawal dari keberpihakan patriot dalam menyuplai dan mendukung dilakukannya usaha-usaha kanalisme demokrasi. Gelora rekayasa suaka orang Papua, kini dilakukan terulang dengan bombardir isu referendum Papua. Gerakan bikin takut orang Papua, meniadakan prospek perjuangan riel.
Produksi Luar Negeri berbendera Papua Merdeka “WPNA-WPCNL-IPWP”
Mau atau tidak mau, tiga nama diatas adalah sejarah organisasi yang katanya untuk Papua tetapi lahir
Frame ideology tak ditemukan dalam peluncuran organisasi dimaksud. Sensasi demokrasi, pemerintahan dan bombardir aspek Politik Papua dengan Perjuangan Timur Leste itulah alasan sensasional didirikannya organisasi berbaju Papua merdeka di luar negeri. Aspek social orang Papua yang patronize mampu di olah dalam situasi keinginan membebaskan diri mereka. Masyarakat yang haus akan kemerdekaan tak bisa dibatasi dalam ruang-ruang kampanye nasib mereka. Tetapi, ini namanya pembodohan demokrasi dan eksploitasi cita-cita kemerdekaan. Tangan-tangan pendukung imoerialisme, haru dibatasi dalam ruang dan gerakan hari ini. Gerakan Universal mengiyakan kemerdekaan. Jamannya imperialism tak dibolehkan bersetubuh dalam ranah kemerdekaan rakyat. Hentikan perjuangan merdeka yang terus larut dalam ruang imperialis itu… pastikan kemenangan rakyat secara mutlak, jauh dari imitasi demokrasi dan kanalisasi merdeka.
Globalisasi sudah nyata meniadakan suprastruktur orang Papua-Supermarket berdiri megah, Petani Papua merana dipinggiran Jalan dan dibawah pertokoan tanpa ruang dan kesempatan baginya dengan penyediaan pasar tradisional. Begitu juga, bombardier Refrendum bagi Papua pasca IPWP di Inggris mengumpulkan sejumlah aktivis berkeliaran di Taman Makam Theys di Sentani Papua. Pemerintahan Transisi oleh WPCNA di Australia sekian aktivis ditahan di Manokwari. Dan perjuangan menggolkan rezim pemerintahan di
Apa yang terjadi?. Gerakan-gerakan produksi luar negeri meniadakan gerakan dalam negeri Papua. Sejumlah gerakan Papua terkooptasi dengan agen-agen imperialis internasional berwajah Papua.
Tatanan ekonomi dan politik rakyat sebagai roh bagi kemakmuran dan keadilan yang diperjuangakan negara. Dinamika sosial dan ekonomi menjadi pilhan fital yang harus dibangun berdasarkan etika kemakmuran dan kesejahteraan yang handal. Meniadakan proses akumulasi sosial sama saja membuang bahkan memukul mundur keyakinan keadilan dan kemerdekaan yang harus di gapai. Rakyat merdeka, mandiri dan makmur adalah tujuan dari pendirian sebuah negara, pemerintahan dan teritori tertentu. Sehingga Pemekaran, Otsus dan Tuntutan Papua Merdeka jika tidak punya landasan kuat yang memiliki keyakinan keadilan ekonomi dan politik maka harus diruntuhkan secara pasti.
Arkilaus Arnesius Baho, Lahir 27 April 2982 di Yaksoro Kabupaten Sorong Selatan Tanah Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar